Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perpustakaan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

19 Oktober 2015   22:58 Diperbarui: 20 Oktober 2015   03:34 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Prasasti peresmian gedung Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat. (Foto: Berthold DHS)"][/caption] Bila kita berkunjung ke Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI yang terletak di Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, di lobby gedung tempat pelayanan publik kita akan melihat diorama tentang buku dan perpustakaan terukir di dinding. Lalu di bawahnya, ada sebuah batu utuh dalam ukuran besar. Di bagian atasnya, ditatah prasasti. Satu prasasti peresmian gedung Perpusnas tersebut pada 11 Maret 1989 oleh Presiden RI saat itu, Soeharto. Sedangkan di sebelah prasasti dari Yayasan Harapan Kita, yang ditandatangani ketuanya, Siti Hartinah Soeharto atau lebih akrab dikenal dengan Ibu Tien Soeharto.

Pendirian gedung Perpusnas saat ini memang tak lepas dari upaya Yayasan Harapan Kita. Sebelumnya, koleksi Perpusnas masih tersimpan terpisah-pisah. Ada yang di Museum Nasional (dulu namanya Museum Pusat dan dikenal juga dengan nama Gedung Gajah) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ada lagi yang di Jalan Medan Merdeka Selatan, dan satu lagi tersimpan di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Terakhir disebut ini kemudian dijadikan Museum Naskah Proklamasi.

Maka, Yayasan Harapan Kita yang dipimpin Ibu Tien Soeharto kemudian menyumbangkan tanah di Jalan Salemba Raya, tempat yang dulunya bekas sekolah terkenal di zaman Hindia-Belanda, Koning Willem III School atau sering disingkat KW 3, dibaca Ka We Drie, jadi disebut Kawedri. Bangunan utama sekolah Kawedri itu masih terawat sampai kini di bagian depan gedung Perpusnas.

Yayasan Harapan Kita kemudian membantu pembangunan gedung Perpusnas di atas lahan seluas 16.000 meter persegi. Terhitung sejak 11 Maret 1989, koleksi-koleksi Perpusnas dapat disatukan di gedung ini, walaupun sebagian masih ada juga yang tersimpan di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. 

Pada prasasti yang ditandatangani Ibu Tien Soeharto tertatah kalimat, “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Gedung Perpustakaan Nasional Ini Kami Persembahkan Kepada Negara Republik Indonesia Teriring Do’a dan Harapan Semoga Bermanfaat Bagi Seluruh Rakyat Dalam Mencapai Cita-cita Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Kalimat yang terkesan biasa saja, tetapi sebenarnya penting bila dikaitkan dengan keberadaan sebuah perpustakaan.

Intinya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, dan memang itu yang menjadi salah satu pendirian perpustakaan untuk umum. Persoalannya, apakah masyarakat sadar manfaat perpustakaan untuk membantu mencerdaskan kehidupan bangsa? Inilah yang tampaknya harus terus dipublikasikan dan disebarluaskan. Mencerdaskan untuk semua lapisan masyarakat, bukan untuk satu-dua golongan saja.  

Perkembangan teknologi informasi, di satu pihak memang berdampak positif. Namun di pihak lain, dengan mudahnya orang menikmati beragam sajian audio dan visual, khususnya tayangan televisi, kebiasaan membaca seolah semakin ditinggalkan. Daripada membaca buku novel yang tebalnya ratusan halaman, tentu lebih menarik menikmati sajian saat kisah itu ditayangkan dalam bentuk film.

Tetapi, dengan mengambil contoh novel dan kisah fiksi lainnya, dengan membaca justru imajinasi seseorang dapat lebih berkembang. Sedangkan kalau menonton film, alur cerita dan imajinasi yang diperoleh adalah hanya yang ditampilkan oleh sang sutradara melalui filmnya.

Apalagi untuk buku-buku non-fiksi yang juga dapat diperoleh dalam jumlah banyak di perpustakaan-perpustakaan. Pengalaman banyak orang, membaca buku non-fiksi lebih mengasyikan daripada sekadar menonton film dokumenter, yang belum tentu pula mengisahkan secara apa adanya. Tak pelak, keberadaan perpustakaan yang menawarkan beragam buku dan bahan bacaan menjadi tetap penting. Saatnya kita ke perpustakaan, saatnya kita mengajak teman dan saudara ke perpustakaan. Saatnya kita sama-sama membantu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun