Hari ini, 2 Mei 2017, saya seolah mengadakan perjalanan dengan “mesin waktu”, menembus masa dan zaman, dari prasejarah ribuan tahun lalu, lalu masuk ke zaman keemasan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Tanah Air, sampai ke Perang Revolusi Kemerdekaan RI, sebelum kembali lagi ke masa kini.
Pagi hari, menggunakan commuter line dari Stasiun KA Sudimara, Tangerang Selatan, saya menuju ke Stasiun KA Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lalu berganti jalur ke Stasiun KA Manggarai, dan kemudian pindah lagi sampai turun di Stasiun KA Juanda. Dari sini berjalan kaki sekitar 5 menit, sampailah saya di Kantor Filateli Jakarta, yang menempati gedung bekas kantor pos dan telegraf Pasar Baru, sebuah gedung karya arsitek J van Hoytema, yang dibangun antara 1912-1929.
Buku Oeang Noesantara. (Foto: bukalapak.com)
Di sana, saya menuju Sekretariat Pengurus Pusat Perkumpulan Filatelis Indonesia, dan bertemu dengan Suwito Harsono, seorang filatelis senior yang juga juri internasional untuk pameran
filateli. Selain mempunyai hobi filateli atau mengoleksi prangko dan benda-benda pos lainnya, Suwito juga seorang numismatis atau kolektor mata uang. Darinya, saya meminjam buku berjudul "Oeang Noesantara", sebuah buku yang ditulis U n O dan diterbitkan oleh Genera Publishing dari Bandung pada 2015.
Saya meminjam buku itu untuk keperluan studi dan penulisan karya ilmiah populer tentang uang Republik Indonesia dari daerah Lampung dan Lampung Utara. Saya tahu keberadaan uang-uang yang pernah digunakan di Lampung pada masa sekitar 1947 sampai awal 1950 itu dari seorang teman, Linda Nihara Dalimonthe.
Buku "Gele Harun Residen Perang". (Foto: BDHS)
Kami bertemu dalam lokakarya bimbingan teknis untuk penulis
sejarah yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah. Dalam acara yang diselenggarakan Direktorat
Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa waktu lalu itu, Linda menghadiahi saya buku yang ditulisnya bersama paman dan sejumlah anggota keluarganya. Buku itu berjudul "Gele Harun Residen Perang", yang menceritakan kisah kakek Linda yang menjadi Residen Lampung pada masa perjuangan revolusi Kemerdekaan RI, yaitu masa-masa setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 namun masih terjadi banyak gejolak antara lain karena Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia, sampai akhirnya Belanda secara resmi mengakui negara Republik Indonesia pada akhir 1949.
Setelah mencatat seperlunya dan mengembalikan buku itu kepada Suwito Harsono, saya beranjak ke Galeri Nasional Indonesia yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No.14, Jakarta Pusat. Letaknya tak terlalu jauh dari Kantor Filateli Jakarta, dengan ojek sepeda motor hanya memerlukan waktu lima menit saja.
Foto gua yang di dalamnya ada gambar cadas prasejarah, dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia. (Foto: BDHS)
Di sana, telah menunggu dua sahabat dari Komunitas Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Mereka adalah Djulianto Susantio dan Dhewy Trisna. Belakangan hadir pula anggota KPBMI lainnya, Lulu Istianah. Kami pun memasuki galeri yang seolah-olah membawa kami ke zaman prasejarah ribuan tahun lalu, saat mengamati pameran bertajuk “Pameran Gambar Cadas Indonesia ”. Pameran tersebut berlangsung sampai 15 Mei 2017 dan terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya.
Dalam pameran tersebut kita dapat melihat bukti-bukti sejarah bahwa tradisi bahari di negeri ini telah ada sejak ribuan tahun silam. Jauh sebelum masa kejayaan Kerajaan Mataram (Hindu), Sriwijaya, dan Majapahit, serta para pelaut yang menggunakan kapal layar Pinisi menyeberang batas-batas negara sampai melewati berbagai benua, di salah satu gua di kawasan Muna, Sulawesi Tenggara, telah tergambar dengan jelas bentuk perahu yang mengarungi lautan.
Gambar cadas prasejarah di salah satu gua di Muna, Sulawesi Tenggara, yang digambarkan kembali dalam layar sorot. (Foto: BDHS)
Berbicara tentang bahari dan lautan, kami pun kembali seolah menggunakan “mesin waktu” ketika dari Galeri Nasional Indonesia melangkah, lagi-lagi tak sampai lima menit, sudah sampai ke Gedung Mina Bahari 4 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, masih di area yang sama.
Di tempat itu, kami menuju lantai dua, memasuki Galeri Warisan Budaya Kelautan (Marine Heritage Gallery) yang di bagian depan ada papan bertulisan “MARINE ARTIFACTS Our Marine Heritage Our Prestigious Treasures” yang dibubuhi tanda tangan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Koleksi teko dari Kargo Cirebon. (Foto: BDHS)
Galeri sekelas museum modern yang bersih dan nyaman dengan pendingin udara dan cukup luas ruangannya dengan beberapa tempat duduk yang memudahkan pengunjung untuk beristirahat sejenak, dibuka setiap hari kerja dari Senin sampai Jumat, antara pukul 09.00 sampai 12.00 dan 13.00 sampai 15.00 WIB. Sama seperti di Galeri Nasional Indonesia, masuk ke dalam galeri ini pun pengunjung tidak dipungut bayaran.
Lihat Humaniora Selengkapnya