Modernisasi menghasilkan sesuatu yang positif, namun sekaligus tak jarang juga menyebabkan dampak yang negatif. Paling tidak itulah yang tercermin dalam disertasi Junus Satrio Atmodjo, yang memperoleh gelar doktor bidang arkeologi dengan predikat sangat memuaskan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, 10 Mei 2017.
Menampilkan judul “Lanskap Permukiman Rawa Pesisir Masyarakat Jambi Abad XI-XIII”, Junus Satrio Atmodjo yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sejak 2011, berhasil mempertahankannya dengan gemilang di hadapan sidang dewan penguji yang dipimpin langsung Dekan FIB UI, Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, MA. Dewan penguji terdiri dari Prof. Dr. Mundardjito, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Dr. Wanny Rahardjo, Dr. Supratikno Rahardjo, dan penguji tamu Dr. Riwanto Tirtosudarmo. Bertindak selaku promotor adalah Dr. Ninie Susanti dengan co-promotor Dr. Wiwin Djuwita Ramelan.
Modernisasi walaupun tidak dikemukakan dengan istilah tersebut, disinggung oleh Junus Satrio ketika mengemukakan program transmigrasi yang dilakukan Pemerintah sejak 1970-an, yang telah menyebabkan perubahan cepat di wilayah timur Jambi. Selain upaya positif meratakan penduduk di Indonesia lewat program transmigrasi, ternyata seperti diungkapkan Junus Satrio, “meninggalkan persoalan-persoalan baru yang semula belum disadari dampaknya”.
![Dr. Junus Satrio Atmodjo beserta istri dan anak-anak. (Foto: Watty Yusman)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/05/10/junus1-5913189551f9fd095a985093.jpg?t=o&v=770)
Bukan itu saja. “Keadaan semakin memprihatinkan dengan munculnya keinginan sebagian anggota masyarakat untuk mencari, menemukan, dan menjualnya guna memperoleh keuntungan komersial dari ‘barang-barang antik’ yang banyak diminati para kolektor seni dan benda bersejarah”.
Meski pun Junus tidak menyebut bahwa penggalian dan penjualan artefak-artefak bersejarah itu merupakan dampak modernisasi, namun bisa dikatakan semakin dinilai berharganya benda seni dan bersejarah di dunia modern ini, sedikit banyak membuat “perburuan” benda-benda bersejarah menjadi semakin sering.
Untuk itulah, Junus yang pernah menjadi Direktur Peninggalan Purbakala dan Staf Ahli Menteri pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mengharapkan perlu terus ditingkatkan frekuensi penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian di kawasan tersebut. “Dengan meningkatkan frekuensi penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian diharapkan kerugian yang harus ditanggung oleh generasi mendatang dapat ditekan,” jelasnya.
Ditambahkannya lagi, “Informasi yang dihasilkan dari penelitian tersebut dapat membantu masyarakat meningkatkan pemahaman mereka akan sejarah panjang yang sudah dilalui bangsa Indonesia sampai dengan hari ini”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI