Perjalanan panjang Masjid Angke atau lengkapnya bernama Masjid Jami’ Al-Anwar Angke di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, yang telah mencapai usia 256 tahun, adalah bagian dari perjalanan sejarah kota Jakarta. Duasetengah abad lebih, merupakan suatu pencapaian yang luar biasa bagi sebuah bangunan yang masih berfungsi sebagaimana ketika pertama kali didirikan.
Didirikan pada hari Kamis 26 Sya’ban 1174 H atau pada 1761 Masehi, dari pengamatan pada foto-foto lama yang ada, terlihat masjid itu memang sempat terbengkalai tak digunakan lagi. Namun, warga setempat berhasil memperbaiki dan menggunakannya kembali. Paling tidak sejak 1919, masjid itu telah diperbaiki beberapa kali.
Adalah arkeolog Universitas Indonesia, Tjut Nyak Kusmiati, yang mendata perbaikan tersebut pada skripsinya berjudul “Mesjid Angke, Tinjauan Ilmu Bangunan, Seni Hias dan Seni Ukir” yang ditulisnya untuk mencapai gelar Sarjana Sastra Bidang Arkeologi di Universitas Indonesia pada 1976. Dari skripsi itu, diketahui telah ada beberapa kali perbaikan Masjid Angke. Tiga kali perbaikan atau dalam skripsi tersebut disebut sebagai pemugaran, dilakukan pada 1919, 1951, dan 1960, semuanya dilakukan secara bergotong royong oleh warga setempat.
Kemudian pada 1970 dilakukan lagi pemugaran. Kali ini oleh Dinas Museum DCI (sekarang disebut DKI) Jakarta. Setelah itu, masih ada lagi beberapa kali pemugaran. Seperti disebutkan arkeolog dan pakar sejarah Kotatua Jakarta, Candrian Attahiyyat, pemugaran pernah dilakukan setidaknya dua kali pada kurun 1980 sampai akhir 1990.
Setelah itu, kalau pun ada hanya dalam bentuk perbaikan-perbaikan kecil yang dilakukan pengurus Masjid Angke. Setelah berusia cukup panjang, riwayat masjid itu kini agak kuran baik. Bangunan utama, khususnya bagian dalam, masih cukup lumayan. Namun atapnya telah banyak yang rusak, bahkan ketika pengurus Lingkar Warisan Kotatua Jakarta (Lingwa) datang ke sana 6 Februari 2017 untuk melakukan survey, mereka mengkhawatirkan bila hujan turun dengan deras, atap masjid bisa ambruk dan menimpa loteng dan selanjutnya menimpa pula bagian dalam masjid tersebut.
Kekhawatiran itu cukup masuk akal. Ketika mencoba naik melalui tangga ke loteng untuk mengecek atap masjid itu, upaya untuk sampai ke atas tidak mudah. Harus berhati-hati, karena beberapa bagian kayunya telah lapuk. Keberadaan tangga ini, seperti dikatakan Tjut Nyak Kusmiati, telah diganti yang baru.
“Tangga yang menghubungkan ruangan bawah dengan loteng berukuran sempit dan curam. Tangga ini telah diganti yang baru. Jenis kayu yang dipergunakan, warna serta ukurannya sama dengan tangga yang asli,” tulis Tjut Nyak Kusmiati di halaman 15 skripsinya.
Terkait dengan atap masjid tersebut, Tjut Nyak Kusmiati menjelaskan bahwa atapnya bertingkat dua atau dikenal juga dengan atap tumpang. Selanjutnya, arkeolog lulusan Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa atap masjid yang bertingkat dua, mempunyai loteng yang bertingkat dua pula. Sampai saat ini, loteng dua tingkat masih ada di sana. Hanya sekali lagi, kondisinya sudah menyedihkan dan rawan ambruk.
Hal yang unik dari pengamatan Tjut Nyak Kusmiati, “Pada umumnya susunan atap-atap mesjid kuna berjumlah ganjil, sedangkan susunan atap dari mesjid Angke ini berjumlah genap”. Masih menurut arkeolog itu, susunan atap berjumlah genap memang khas susunan atap masjid-masjid lama di Jakarta.
Selain bagian atap dan loteng, kerusakan juga terjadi pada bagian bangunan yang terbuat dari kayu, seperti pintu dan jendela masjid tersebut. Ukiran ragam hias unik pada sisi pintu yang disebut-sebut merupakan gabungan ragam hias Bali dan Eropa, juga kondisinya rawan. Kayu-kayunya telah rapuh dan keropos, dimakan rayap.