“Mangan ora mangan kumpul” atau lengkapnya “mangan ora mangan sing penting kumpul” yang bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “makan tidak makan yang penting berkumpul”, oleh banyak orang disebut sebagai falsafah Jawa peninggalan nenek moyang.
Pendapat yang agak berbeda dikemukakan Prof. Dr. DJoko Marihandono, sejarawan dari Universitas Indonesia, dalam diskusi tentang Dr. Angka yang diselenggarakan di Museum Kebangkitan Nasional, Jalan Kwini, Jakarta Pusat, pada 30 November 2016.
Menurut sejarawan yang juga fasih berbahasa Prancis dan Belanda itu, adalah Perjanjian Giyanti sebuah kesepakatan antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), kongsi atau perusahaan dagang Hindia Timur yang dibentuk Pemerintah Belanda dengan pihak Kerajaan/Kasunanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwono III yang men jadi awalnya. Pembahasan perjanjian yang sudah dimulai sejak September 1754, walaupun baru ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Inti perjanjian itu adalah Mataram dibagi menjadi dua bagian. Bagian di sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta (Solo). Sedangkan bagian di sebelah barat yang sebenarnya merupakan daerah Mataram yang asli),diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana I, berkedudukan di Yogyakarta. Di dalam perjanjian itu juga terdapat klausul, bahwa jika diperlukan, pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu.
Bagaimana mengukur wilayah masing-masing bagian itu? Menurut Djoko, waktu itu belum memakai ukuran standar seperti sekarang. Waktu itu belum menggunakan ukuran desimal seperti meter atau pun ukuran lain seperti kaki (feet), tetapi yang digunakan adalah “karya” (karyo). Sebagaimana namanya, “karya” berhubungan dengan tenaga berkarya atau tenaga kerja. Satu karya dihitung sama dengan 4 tenaga kerja. Mereka yang disebut tenaga kerja adalah minimal anak-anak yang telah akil balik.
Jadi ukuran kedua daerah itu diukur dari banyaknya “karya’ yang tinggal di masing-masing bagian. Dari sinilah muncul istilah “mangan ora mangan sing penting kumpul”. Jadi orang diminta supaya jangan ;pergi dari desanya, agar jumlah “karya” di tempat itu tidak berkurang, yang bisa berakibat kurangnya ukuran luas daerah tersebut.
Oleh sebab itu, menurut Djoko, secara tidak langsung istilah “mangan orang mangan sing penting kumpul” dapat dikatakan merupakan konsep kolonial. Pihak kolonial, dalam hal ini VOC, secara tak langsung “memaksa” warga untuk makan tidak makan yang penting berkumpul. Tujuannya agar jumlah “karya” di situ tidak berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H