Tanggal 26 Desember 2004 di pagi hari. Gempa bumi dan gelombang tsunami meluluhlantakkan bagian utara Pulau Sumatera, terutama di wilayah Provinsi Aceh. Kabarnya banyak yang tewas. Kabarnya? Ya, karena saat itu penggunaan media sosial belum mewabah seperti sekarang, dan siaran televisi lokal pun baru menjelang sore ada gambar langsung dari tempat musibah.
Tidak banyak informasi di hari-hari awal. Hal ini jugalah yang dirasakan oleh Biro Kepanduan Sedunia (World Scout Bureau) yang berpusat di Jenewa, Swiss. Biro ini adalah kantor pusat pelaksana kegiatan kepanduan sedunia, yang di Indonesia dikenal dengan nama Gerakan Pramuka. Luc Pannissod, Deputi Sekretaris Jenderal World Organization of the Scout Movement (WOSM) – organisasi gerakan kepanduan sedunia – yang mengepalai biro tersebut, mencoba mencari informasi sampai ke Jakarta.
Namun, Pannissod belum mendapatkan informasi yang memuaskan. Akhirnya, dia menghubungi saya. Kebetulan kami telah beberapa kali bertemu langsung, karena saya pun aktif di Gerakan Pramuka, bahkan sejak 1998 menjadi perwakilan Indonesia di Kepanduan Asia-Pasifik, tepatnya di Public Relations Subcommittee.
Dia menghubungi saya melalui email dan juga melalui telepon rumah saya di bilangan Matraman, Jakarta Timur. Di saat suasana libur Natal dan Tahun Baru 2005, saya pun mencoba mencari informasi ke sana ke mari. Pannissod yang tahu saya seorang wartawan – dan mungkin karena itu oleh Gerakan Pramuka saya juga ditempatkan di Public Relations Subcommittee Kepanduan Asia-Pasifik – meminta saya untuk mengirim kabar mengenai bencana tragis tersebut. Termasuk sejauh manakah keikutsertaan anggota Gerakan Pramuka ikut membantu meringankan musibah tersebut.
Pannissod mengharapkan pula, agar kalau dapat saya mengirimkan berita secara berkesinambungan bukan hanya sekali saja. Hal itu dianggapnya penting, agar dia dapat segera memuat di situs web resmi WOSM secara berkala, dan pembaca mendapatkan informasi teranyar mengenai musibah dan aktivitas Pramuka Indonesia membantu mengatasi bencana itu.
Begitulah, setelah mendapatkan informasi, saya mulai menulis berita. Seingat saya, kurang dari seminggu setelah kejadian, sudah ada anggota Gerakan Pramuka yang berangkat ke Aceh, lokasi musibah tsunami yang paling menyedihkan. Satu-persatu anggota Gerakan Pramuka, tanpa digerakkan oleh siapa pun, berangkat ke lokasi bencana.
Belakangan, Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka secara resmi memberangkatkan kelompok-kelompok Pramuka Peduli yang menjadi relawan di lokasi bencana. Menggunakan pesawat Hercules TNI-AU, kelompok Pramuka Peduli itu terjun langsung ke daerah-daerah yang kondisinya paling memprihatinkan.
Seorang anggota Pramuka Peduli yang juga Staf Humas Kwarnas, Saiko Damai, mengabadikan aktivitas para Pramuka di sana lewat kamera fotonya. Beberapa fotonya juga saya bagikan dan kirim ke Luc Pannissod untuk dimuat di website resmi WOSM. Belakangan, salah satu foto karya Saiko Damai di sana, memenangkan penghargaan foto terbaik Kepanduan Asia-Pasifik. Fotonya menggambarkan sejumlah anggota Pramuka Peduli sedang mengangkat jenazah korban tsunami, dianggap para juri internasional menggambarkan sikap sejati Pramuka yang selalu siap menolong dan setiap saat ikut serta membangun masyarakat.
Saya sendiri karena keterbatasan waktu, sulit untuk bergabung langsung ke Aceh. Apalagi seingat saya, akhir Desember 2004 dan awal Januari 2005, kondisi fisik saya juga kurang baik. Daripada menyusahkan kalau memaksakan diri berangkat ke sana, lebih baik saya memantau dari Jakarta saja. Di samping setiap waktu tetap menelepon ke Aceh, mengumpulkan data-data untuk menulis berita dan mengirim foto berita untuk website resmi WOSM.
Belakangan saya baru tahu, ternyata Luc Pannissod meminta berita dan foto-foto itu untuk membuktikan kepada kepanduan dunia betapa mengenaskannya bencana tsunami dan sekaligus membuktikan pula bahwa para Pramuka yang merupakan bagian dari anggota kepanduan sedunia tidak tinggal diam, melainkan ikut terjun langsung membantu di arena bencana.
Hasilnya, organisasi-organisasi nasional kepanduan dari banyak negara tergerak untuk memberi sumbangan. Bukan hanya itu, World Scout Foundation (WSF) yang dipimpin oleh Presiden Kehormatan (Honorary President) Raja Carl XVI Gustaf dari Swedia juga memberikan sumbangan cukup besar.