Beberapa waktu lalu seorang sahabat ketika kuliah – tepatnya adik kelas – dulu mengunggah tulisan “Emak-emak JELITA itu senengnya Piknik, Selfie2 sambil begaya.. plus, Pake Minyak Angin!! ;)”. Biar sudah emak atau ibu tentu bahagia bila dibilang “jelita”. Tapi teman saya itu menambahkan bahwa kata “jelita” bukan sekadar berarti cantik dan indah. “Jelita” juga merupakan singkatan “JElang LImapuluh TAhun”. Memang, adik kelas saya itu bila dihitung dari angkatan masuknya ketika kuliah dulu, rata-rata sudah berusia menjelang limapuluh tahun. Bahkan ada yang sudah memasuki angka “50”.
Di usia menjelang limapuluh tahun, jalan-jalan atau piknik bersama keluarga, teman, dan kerabat, tetaplah hal yang disukai. Bagi banyak orang, kata “piknik” sekaligus berarti bebas dari rutinitas sehari-hari, saat gembira dan menyenangkan. Zaman sekarang, berarti juga sibuk dengan selfie atau istilah dalam Bahasa Indonesia yang mulai dipopulerkan adalah “swafoto”.
Jangan kira karena usia menjelang senja, lalu tak lagi ingin bergaya. Siapa pun, rasanya senang bergaya di depan kamera, walaupun ada perkecualian pada beberapa orang. Menggunakan kamera pintar, apalagi kalau ada si “tongkat narsis” alias “tongsis”, makin mudahlah bergaya untuk diabadikan. Tak perlu bantuan fotografer atau orang lain, berkumpul bersama dapat dengan mudah swafoto. Klik, dan terabadikanlah kegembiraan saat piknik tersebut.
Persoalannya, karena semakin meningkatnya usia, terkadang tubuh agak rentan terhadap cuaca dan kondisi di sekitarnya. Piknik ke pegunungan, terkena angin dingin, tubuh pun mulai menggigil. Piknik ke pantai, terkena panas terik, kepala pun mulai pusing. Bahkan sekadar piknik bersama di pusat perbelanjaan pun, mesin pendingin ruangan yang ada, bisa membuat masuk angin.
Tak pelak, mengoleskan minyak angin menjadi salah satu solusinya. Benar, dengan minyak angin, tubuh yang menggigil dapat kembali hangat. Tak salah pula, dengan minyak angina, kepala pusing menjadi segar kembali. Persoalan yang sering terjadi adalah, mengoleskan minyak angin pada tubuh, membuat aromanya tersebar ke mana-mana.
“Kayak bau nenek-nenek” atau “Uh, macam kakek-kakek aja, lu”, begitu sering terdengar. Mungkin ucapan yang diungkapkan itu, lebih kepada pengalaman bahwa umumnya orang tua yang biasanya menggunakan minyak angin. Itulah sebabnya, belakangan cukup banyak yang menolak menggunakan minyak angin. “Malu ah, ntar dikira kayak nenek-nenek lagi,” ujar seorang teman yang ditawari untuk menggunakan minyak angin sewaktu dia batuk-batuk, dan disarankan untuk mengoleskan minyak angin di lehernya.
Pertama di Indonesia
Untunglah, saat ini sudah ada produk minyak kayu putih yang aromanya lebih dari sekadar aroma minyak kayu putih biasanya. Saya pertama kali berkenalan dengan produk tersebut sewaktu mengikuti Kompasianival 2016 di Gedung SMESCO, Jakarta Selatan. Di sanalah, saya sadar bahwa ini memang produk yang sangat dinanti oleh banyak orang, terutama untuk mereka yang belum memasuki usia “nenek dan kakek” atau pun mereka yang tak ingin dibilang tua.
Produk ini sebenarnya sudah diluncurkan pada 2011 untuk minyak kayu putih aromatherapy ekaliptus (atau eukaliptus). Namun untuk tiga varian lainnya, yaitu rose, lavender, dan green tea, baru diluncurkan pada 2015. Setidaknya ada empat ukuran botol yang ditawarkan, mulai dari ukuran 15 mililiter (ml), 30 ml, 60 ml, dan 120 ml. Khusus untuk aromatherapy ekaliptus, juga disediakan botol yang lebih besar, berukuran 210 ml.
Kehadiran botol-botol mungil itu sebenarnya juga menguntungkan bagi para konsumen. Misalnya, mau menghadiri undangan resepsi pernikahan, atau mau makan malam dan nonton film di bioskop, biasanya baik wanita maupun pria, tak ingin membawa tas yang terlalu besar. Kaum wanita cukup membawa tas pesta atau tas kecil seperti “pouch” saja, sedangkan kaum pria malah sering tak membawa tas apa pun. Cukup dompet di dalam saku celana.