Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Politik

Intel

2 November 2016   15:38 Diperbarui: 2 November 2016   15:40 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Intelligence. (Foto: deadline.com)

Saya sebenarnya menunggu-nunggu sampai siang ini, setelah tadi pagi ada pengumuman pers dari Cikeas. Biasanya para pengamat-pengamat Kompasiana, langsung sibuk mengetak-ngetik, menulis berbagai analisis sesuai kehendak hatinya. Namanya juga analisis, meski tidak semua, tapi umumnya subjektif isinya. Ada juga yang bikin analisis untuk “meng-amin-kan”yang memang sudah jadi persepsi atau pemikirannya sejak awal.

Sewaktu dalam perjalanan di dalam mobil  tadi pagi, melalui siaran radio, berulang kali yang membuat pengumuman pers dari Cikeas menyebut kata “intelijen” atau dalam Bahasa Inggris “intelligence”, sampai ada semacam kuliah singkat tentang arti “intelligence failure” dan “intelligence error”. Itulah sebabnya, saya menunggu-nunggu para Kompasianer yang biasa menjadi pengamat politik untuk mengungkapkan analisisnya tentang soal intelijen ini.

Tapi sampai siang ini, pukul 15.30 WIB, belum ada juga yang menganalisis soal intelijen ini. Saya sendiri, sama sekali tidak mengerti tentang intelijen. Cuma waktu mahasiswa sering dengar istilah “Intel Melayu” yang katanya ada juga di antara teman-teman mahasiswa sendiri. Bahkan zaman Intel Melayu itu, kalau orang-orang yang mengritik penguasa di masa Orde Baru, katanya tiba-tiba di depan rumahnya sudah ada tukang bakso atau tukang sayur yang tidak biasa berjualan di situ. Tentu saja bukan tukang bakso dan tukang sayur biasa. Intel? Entahlah.

Ada juga teman yang suka mencoba menebak-nebak Intel Melayu dengan melihat sepatunya. Kalau sepatunya kulit hitam yang disemir rapi, walaupun orangnya hanya memakai kaus dan celana jeans, bahkan berambut gondrong, bukan tak mungkin dia Intel Melayu.

Saya sendiri, seperti sudah saya katakan, tidak mengerti soal intelijen. Paling-paling saya tahu indomie telur saja, yang di kedai-kedai pinggir jalan sering disebut "Intel" juga. (Mudah-mudahan tulisan ini tidak dianggap sebagai tulisan seorang intel juga).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun