[caption caption="Inilah sebagian adegan film iklan yang menampilkan atlet parkour melompat-lompat di Candi Borobudur, salah satu warisan dunia yang harus dijaga kelestariannya. (Foto: Istimewa/shakuta.com/Serge Shakuto)"][/caption]Tanggal 18 April telah diteapkan dan disepakati di seluruh dunia sebagai World Heritage Day atau Hari Warisan Dunia. Kata “heritage” memang seharusnya diterjemahkan sebagai “warisan”, meski pun ada beberapa pihak yang mencoba menggunakan kata “pusaka”. Padahal kata “pusaka” itu terjemahan dari kata “heirloom” dalam Bahasa Inggris. Jadi jelas berbeda antara “warisan” dan “pusaka”.
Apa saja yang termasuk diperingati pada Hari Warisan Dunia? Paling mudah diingat adalah warisan-warisan dunia berbentuk tinggalan-tinggalan bersejarah, seperti bangunan benda cagar budaya Candi Borobudur misalnya. Siapa yang tahu bahwa “Red Bull” baru-baru ini membuat iklan minuman energinya di Candi Borobudur? Ini juga menjadi masalah.
Iklan itu menampilkan seorang atlet parkour, yang melompat-lompat dari satu stupa ke bagian candi lainnya. Melakukan gerakan salto dan ….bummm! menjejakkan kakinya dengan keras di lantai candi. Pihak Red Bull mengatakan itu adalah aksi spontan, mereka sedang berkunjung ke sana, melihat Candi Borobudur, dan kemudian timbul ide membuat gerakan-gerakan parkour.
Tetapi bila dilihat dari cara pengambilan film iklan itu, yang tadinya sudah dimuat di Youtube namun sekarang sudah dihapus setelah mendapat protes, jelas itu tidak spontan. Ada pengambilan gambar dari sudut-sudut sulit, sehingga membutuhkan kameraman terlatih. Juga ada pengambilan dari atas, yang tampaknya dilakukan oleh kamera drone.
Benarkah itu tidak merusak? Mungkin terlihat lantai candi atau stupa biasa saja. Tetapi tekanan kaki, apalagi yang dilakukan sambil melompat-lompat, tentu menimbulkan gaya grativitasi yang berat, dan tekanannya saat menjejak jauh lebih besar dari sekadar orang berjalan. Kalau sekarang bisa jadi tidak terlihat kerusakan, tapi siapa tahu sudah menimbulkan “bibit-bibit” keretakan di bebatuan candi, yang kelak akan cepat menyebar kerusakannya.
Itulah sebabnya, kita menyambut positif langkah Direktur Jenderal Kebudayaan yang menanggapi protes dari masyarakat, dan telah menyurati pihak Red Bull serta organisasi international parkour. Atlet tentunya terikat kode etik, dan melakukan gerakan-gerakan parkour di tempat yang sudah dijadikan warisan budaya tingkat dunia serta masih digunakan sebagai tempat ibadah, jelas tidak etis.
Sebenarnya yang juga penting, mencari kemungkinan adakah biro iklan yang terlibat dalam pembuatan film iklan tersebut? Sebagai biro iklan tentunya mereka pun mempunyai kode etik baik secara internasional maupun di dalam negeri. Perlu ditanya, apakah mereka mendapat izin? Kalau ya, siapakah yang mengeluarkan izin? Sesungguhnya untuk warisan dunia sekelas Candi Borobudur, izin pengunaannya harus dari pemerintah pusat, dan tampaknya Direktur Jenderal Kebudayaan tidak tahu dan tidak mengeluarkan izin soal pembuatan iklan tersebut.
Di luar soal penggunaan istilah “heritage” yang seharusnya diterjemahkan sebagai “warisan’ dan kasus atlet parkour melompat-lompat di Candi Borobudur, yang menjadi pertanyaan apakah warisan melulu soal benda yang terlihat fisiknya (tangible)? Menurut hemat saya, bukan itu saja. Termasuk pula warisan non-benda (intangible). Dalam hal ini perilaku dan sikap hidup, dapat pula dimasukkan ke dalamnya.
Terkait itu, dalam peringatan Hari Warisan Dunia 18 April ini, saya melemparkan pertanyaan, apakah yang akan kita wariskan kepada anak dan cucu kita? Bangsa bermoral, penuh etika, saling menghargai, saling menghormati, atau bangsa yang dipenuhi orang-orang saling menhujat, sikap seenaknya sendiri, terus-menerus menghembuskan isu SARA, penuh watak licik dan senang korupsi?
Mari kita jawab dalam hati masing-masing, sambil sekali lagi memperingati Hari Warisan Dunia 18 April ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H