Ribut-ribut soal bendera Merah Putih yang diberi tulisan berbahasa Arab, mengingatkan saya pada kumpulan foto aktivitas kepramukaan yang saya jadikan video dengan bantuan piranti lunak My Stupeflix Video beberapa hari lalu. Kumpulan foto yang saya rangkai menjadi video tersebut saya isi dengan iringan musik dan lirik dari lagu berjudul Alam Bebas.
Lagu tersebut adalah karya Husein Mutahar atau lebih sering ditulis H Mutahar saja. Bagi para Pramuka, nama tersebut sudah tidak asing lagi. Beliau adalah pencipta lagu Hymne Pramuka atau lengkapnya Hymne Satya Darma Pramuka yang menjadi lagu wajib dalam acara-acara kepramukaan di Indonesia. Bagi yang pernah mengenalnya di kalangan Pramuka, biasanya memanggil beliau dengan panggilan Kak Mut.
Pencipta banyak lagu nasional, antara lain Syukur, Hari Merdeka, Dirgahayu Indonesiaku, dan sejumlah lagu lainnya itu, dilahirkan di Semarang pada 5 Agustus 1916. Beliau meninggal dunia di Jakarta pada 9 Juni 2004. Hampir sepanjang usianya, beliau aktif di kepanduan yang kemudian menjadi Gerakan Pramuka.
Tapi bukan itu saja. Namanya juga sangat lekat pada bendera Merah Putih. Bahkan beliau bisa dikatakan penyelamat Bendera Pusaka, bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan ketika Bung Karno ditemani Bung Hatta dan sejumlah tokoh lainnya, memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada 17 Agustus 1945.
Belakangan, Ibu Kota RI juga dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Ketika terjadi Agresi Militer II yang dilakukan Belanda pada 19 Desember 1948, menyebabkan Presiden, Wakil Presiden, dan sejumlah pejabat penting RI ditahan Belanda di Yogyakarta. Namun, sebelum itu Presiden Soekarno yang berada di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, sempat memanggil salah satu ajudannya, Mayor H Mutahar. Bung Karno menitipkan Bendera Pusaka itu kepada Mutahar.
“Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apa pun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri. dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya,” begitu kira-kira ucapan Bung Karno kepada Mutahar.
Maka diiring doa, Mutahar pun siap memikul tugas penyelamatan Bendera Pusaka itu. Agar tidak ketahuan itu adalah bendera, maka Mutahar melepaskan sambungan benang yang menyatukan kain berwarna merah dan kain berwarna putih. Kedua kain itu kemudian dipisahkan, dan dimasukkan di sela-sela pakaian milik Mutahar sendiri.
Pada Juni 1949, Mutahar mendapat informasi dari Sudjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro), yang letaknya tak jauh dari Jalan Pegangsaan Timur. Bung Karno ternyata mengirim surat pada Mutahar, meminta agar Mutahar menyerahkan Bendera Pusaka itu kepada Sudjono. Selanjutnya, Sudjono akan membawanya ke Bangka, tempat Bung Karno diasingkan dan akan dibawa kembali oleh Bung Karno sendiri ke Yogyakarta.
Sudjono adalah anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia). Sesuai aturan, hanya anggota delegasi RI yang boleh berkunjung ke tempat Bung Karno di Bangka. Jadi Sudjono dapat dengan mudah menemui Bung Karno, ketimbang Mutahar yang masih dicari-cari karena melarikan diri dari tahanan sewaktu dibawa ke Semarang.