“Gedung Kwarnas terbakar!”, “Kwarnas kebakaran!”, “Api di gedung Kwarnas!”, begitu pesan masuk beruntun ke layar telepon genggam saya. Baik melalui pesan layan singkat (SMS), pesan di Whastapp, maupun pesan lengkap dengan foto-foto di beragam media sosial lainnya, mulai dari Facebook, Twitter, Path, sampai Instagram.
Memang, Rabu (15/6) petang, terjadi kebakaran di gedung Kwartir Nasional (Kwarnas) Gerakan Pramuka yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur nomor 6, Jakarta Pusat. Untunglah api segera dapat dipadamkan, setelah datang sekitar 11 mobil pemadam kebakaran ke lokasi itu. Api pun tak sempat meluas, hanya bagian atap auditorium yang terbakar. Auditorium itu terletak di bagian depan gedung utama Kwarnas, sebagian lantainya digunakan juga oleh PT Pertamina (Persero).
Auditorium di bagian depan itu memang sudah lama lapuk. Beberapa bagian bahkan sudah runtuh atapnya. Sehingga ruang auditoriumnya praktis tak dapat digunakan lagi. Kini, dengan terbakarnya auditorium itu, tampaknya upaya perbaikan harus segera didahulukan, dan tak dapat ditunda lagi. Di dekat auditorium itu ada juga ruang kantor Majalah Pramuka dan Balai Penerbit PT Pustaka Tunas Media. Sedangkan di bawah auditorium terletak ruang Kedai Pramuka, ruang Dewan Kerja Pramuka Penegak dan Pandega Tingkat Nasiona (DKN)l, serta ruang Himpunan Pramuka dan Pandu Wreda (Hipprada). Sampai pagi ini (Kamis, 16/6), ruangan-ruangan tersebut belum dapat digunakan, karena masih dipasang police line.
Kembali ke gedung Kwarnas tersebut. Sudah disebutkan, sebagian digunakan sebagai kantor oleh PT Pertamina (Persero). Khususnya gedung utama atau tower yang terdiri dari 17 lantai. Lantai dasar ditempati oleh penerima tamu dari pihak Pertamina dan Kwarnas, serta di bagian belakang ada beberapa ruang untuk Kwarnas. Lantai 1 dan 2 digunakan oleh Kwarnas, sementara lantai 3 sampai 17 ditempati Pertamina. Pertamina memang mempunyai hak menempati tower itu, karena pembangunan gedung Kwarnas itu adalah atas bantuan Pertamina.
Sebelum gedung Kwarnas terlihat dalam arsitektur seperti sekarang ini, sebenarnya gedung itu mempunyai sejarah yang cukup panjang. Saya pun menggali kembali riwayat tempo dulu dari gedung Kwarnas yang mempunyai luas tanah sekitar 5.750 meter persegi di kawasan 'Ring Satu', karena letaknya di segi empat Jalan Medan Merdeka. Tak jauh dari Istana Presiden, Istana Wakil Presiden, Balai Kota DKI Jakarta, dan gedung-gedung penting lainnya.
Tadinya, di tempat itu berdiri gedung kantor N.V. Nationale Handelsbank, sebuah perusahaan perbankan pada masa Hindia-Belanda. Ketika Indonesia merdeka, gedung itu pernah ditempati oleh Front Nasional Badan Pembina Potensi Karya. Gedung itu tersebut akhirnya dijadikan aset Bank Bumi Daya.
Ketika Gerakan Pramuka berdiri, maka walaupun masih merupakan milik Bank Bumi Daya, Presiden Soekarno kemudian mengizinkan Kwarnas untuk menempatinya. Selanjutnya, pada masa Orde Baru, atas restu Presiden Soeharto kepemilikan tanah dan gedung itu diserahkan sepenuhnya oleh Bank Bumi Daya kepada Kwarnas Gerakan Pramuka, pada 16 Mei 1979. Belakangan, Ibu Tien Soeharto membantu mengurus kepemilikan sertifikat tanah di situ, menjadi milik Gerakan Pramuka.
Ruang Humas Kwarnas terletak di bagian kiri depan, sedangkan ruang DKN ada di bagian belakang aula. Terus berjalan ke bagian belakang terdapat beberapa kamar, yang bisa ditempati oleh tamu atau undangan yang datang dari daerah. Di dekat kamar-kamar itu terdapat patung dari budaya Tionghoa dalam ukuran cukup besar, mungkin setinggi orang dewasa, kalau tidak salah patung Dewi Kwan Im. Saya mencoba mencari tahu, tapi tidak jelas kenapa patung itu ada di situ.
Belakangan, karena jumlah anggota Gerakan Pramuka yang semakin banyak –tadinya hanya sekitar 5 juta melonjak menjadi 20 juta karena ada semacam 'kewajiban' semua siswa sekolah 'harus' menjadi anggota Gerakan Pramuka– maka kegiatan di Kwarnas pun semakin sibuk. Ruang-ruang yang ada terasa kurang memadai.