Selain “berhasil” membuat istilah “mangan ora mangan sing penting kumpul”, VOC juga “berhasil” membuat blangkon Yogyakarta dan blangkon Solo (Surakarta) menjadi berbeda bentuknya. Ini semua disebabkan Perjanjian Giyanti yang, kesepakatan antara VOC dengan Mataram., yang ditandatangani 13 Februari 1755.
Inti Perjanjian Giyanti adalah Mataram dibagi menjadi dua bagian. Bagian di sebelah timur Kali Opak dikuasai oleh pewaris tahta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III dan tetap berkedudukan di Surakarta (Solo). Sedangkan bagian di sebelah barat yang sebenarnya merupakan daerah Mataram yang asli),diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi sekaligus ia diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwana I, berkedudukan di Yogyakarta. Di dalam perjanjian itu juga terdapat klausul, bahwa jika diperlukan maka pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu.
Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Prof. Dr. Djoko Marihandono, gara-gara itu juga maka untuk membedakan orang Yogyakarta atau orang Surakarta, blangkon atau tutup kepala dari kedua wilayah itu dibuat berbeda. Hal itu dikemukakan Djoko pada diskusi tentang Dr. Angka, salah satu pendiri Boedi Oetomo, yang diselenggarakan di Museum Kebangkitan Nasional, Jalan Kwini, Jakarta Pusat, pada 30 November 2016.
Diuraikan oleh Djoko, tipikal wajah dan bentuk tubuh orang di kedua wilayah itu sama. Mereka pun menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Jawa, serta tradisinya pun sama. Maka untuk membedakan, dibuatlah blangkon yang berbeda untuk orang Yogya dan orang Solo.
Perbedaan utama adalah di bagian belakang blangkon, yang disebut “mondholan”. Dalam bahasa umum, sering disebut “telur di belakang blangkon”. Blangkon khas Yogyakarta mempunyai mondholan berbentuk bulat telur, sedangkan pada blangkon Solo seperti dikatakan Djoko, “telurnya sudah pecah” alias tidak ada mondholan atau bentuk bulat telur itu. Jadi, dengan melihat bentuk blangkonnya, orang langsung tahu apakah dia warga Yogya atau warga Solo.
Perbedaan lain bisa dilihat dari bentuk wayang kulit antara wayang Yogya dan wayang Solo. Wayang Yogya umumnya dibuat berpostur lebih kekar, dibandingkan wayang Solo yang lebih jangkung dan langsing. Sedangkan untuk wayang putri, pada wayang Yogya kainnya menjuntai ke depan, sedangkan wayang Solo kainnya jatuhnya ke belakang.
Gara-gara VOC dan Perjanjian Giyanti ternyata bisa membuat banyak perbedaan. Mulai dari munculnya istilah “mangan ora mangan sing penting kumpul”, sampai blangkon dan wayang Yogya yang berbeda dengan Solo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H