Dulu orang mengenalnya dengan sebutan “lukisan gua”, penamaan yang merujuk kepada gambar-gambar dari masa ribuan tahun silam yang ditemukan di dalam gua. Gambar-gambar yang dibuat manusia prasejarah pada bagian dalam dinding gua yang menjadi tempat tinggal mereka.
Namun sejak beberapa tahun belakangan ini, para arkeolog lebih cenderung menyebutnya sebagai “gambar cadas”, gambar yang dilukis di dinding batu cadas. Apa pun itu, keberadaan lukisan gua atau gambar cadas itu membuktikan bahwa sejak dulu, manusia selalu ingin “meninggalkan” jejak sejarahnya, agar manusia-manusia di masa depan dapat melihat eksistensi mereka.
Selain menggambar binatang, juga ada yang berupa jejak telapak tangan. Hal itu misalnya dapat terlihat pada sejumlah lukisan gua di Indonesia, tepatnya di Provinsi Sulawesi Selatan dan Maluku.
Seorang arkeolog senior, Kosasih SA, dalam makalahnya “Lukisan Gua di Indonesia sebagai Data Sumber Penelitian Arkeologi” yang disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi III di Jakarta pada 1983 menyebutkan bahwa lukisan cap tangan bukan semata-mata produk senirupa untuk menghias dinding gua saja. Tujuannya juga bersifat religius sesuai kepercayaan yang dianut masyarakat waktu itu, yaitu upaya untuk berkomunikasi dengan kekuatan supranatural.
Sementara HR van Heekeren, orang Belanda yang lahir di Semarang pada 1902 dan kemudian dikenal sebagai peneliti prasejarah Indonesia ternama, menyebutkan bahwa kemungkinan lukisan cap tangan itu ada hubungannya dengan kehidupan setelah manusia itu meninggal. Cap tangan, begitu van Heekeren mengatakannya, merupakan penggambaran manusia meninggal yang sedang meraba-raba ke mana arah tujuannya di alam arwah.
Sedangkan terkait dengan lukisan gua bergambar binatang, banyak disebutkan merupakan penggambaran dari keinginan manusia prasejarah untuk menangkap binatang-binatang tersebut. Masih banyak lagi gambar atau lukisan gua lainnya, termasuk pola sulur yang distilir, dan kemudian berkembang pada masa berikutnya, ketika Indonesia memasuki zaman Hindu-Buddha dengan penggambaran motif sulur yang distilir pada candi-candi.
Tentu saja untuk memahami semua itu tidaklah mudah. Bila pada zaman sejarah ketika telah berkembang tradisi tulis-menulis, manusia masa kini paling tidak lebih mudah mendapatkan gambaran tentang kehidupan di masa lalu melalui sumber-sumber tertulis yang ada. Baik dalam bentuk prasasti, tulisan pada daun lontar, dan sebagainya. Semakin lama bahkan dengan ditemukannya kertas dan alat tulis, catatan sejarah menjadi lebih mudah lagi didapatkan.
Berbeda dengan zaman prasejarah. Tidak ada catatan tertulis yang ditinggalkan manusia prasejarah, membuat manusia modern masa kini perlu melakukan analisis yang lebih cermat terhadap tinggalan-tinggalan yang masih ada. Termasuk terhadap lukisan gua atau gambar cadas tadi.
Justru karena itu pula, imajinasi sebagian orang menjadi berkembang demikian jauh. Ada yang mengatakan beberapa lukisan gua adalah tanda kehadiran alien-alien dari luar angkasa . Untungnya – atau ruginya – dari contoh-contoh lukisan gua terkait kehadiran mahluk luar angkasa itu tak ada gua di Indonesia. Adanya di benua Amerika, Eropa, Afrika, dan Australia. (Informasi lengkap bisa dibaca di sini: ancientufo.org).
Dalam Bahasa Inggris, saat ini yang populer adalah menyebutkannya sebagai rock art, walaupun ada juga yang menulis rock painting, rock drawing, rock engravings,sampai rock pictures. Bila ingin diterjemahkan secara bebas, maka rock artbisa dianggap sebagai “seni batu”. Apa pun itu, keberadaan lukisan gua atau gambar cadas tersebut adalah bukti warisan budaya paling tua.
Lukisan atau gambar-gambar itu juga menjadi bukti bahwa manusia sejak dulu telah cerdas. Dapat berimajinasi, kemudian mewujudkan imajinasinya itu. Tentu saja lewat lukisan atau gambar, karena saat itu belum dikenal aksara dan tradisi tulis-menulis.