Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fakta atau Mitos, Tantangan Penulis Sejarah

28 Februari 2017   17:44 Diperbarui: 28 Februari 2017   18:24 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Workshop untuk penulis sejarah yang tak berlatar belakang pendidikan sejarah. (Foto: Akmal Maulana)

Pernah dengar atau baca kisah Kanjeng Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan dan merupakan “permaisuri spiritual” dari raja-raja Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta)? Konon kabarnya ada jalur khusus dari keraton ke Laut Selatan tempat Kanjeng Ratu Kidul bertahta.

Pernah dengar juga bagaimana nama “Betawi” muncul? Ada yang bilang asalnya dari kata berbahasa Jawa “mambet tai” yang artinya bau tahi. Ketika pasukan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menyerang penguasa Belanda di Batavia pada 1628 dan 1629. Ketika Belanda terdesak, konon kabarnya mereka mengganti peluru meriam dengan kotoran binatang. Sehingga ketika ditembakkan dan mengenai pasukan Mataram, maka pasukan yang berasal dari Jawa langsung berteriak dalam bahasa mereka, “Mambet tai, mambet tai”.

Apakah itu fakta sejarah atau hanya mitos?  Fakta atau mitos, itu yang seringkali diperdebatkan saat seorang menyajikan kisah sejarah. Dalam menulis sejarah, seseorang perlu tahu dan bisa membedakan antara fakta dan mitos ini. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis sejarah, agar hasil tulisannya tidak membuat bingung pembaca atau justru memberikan gambaran yang salah tentang kisah sejarah yang sebenarnya.

Peserta aktif bertanya. (Foto: Akmal Maulana)
Peserta aktif bertanya. (Foto: Akmal Maulana)
Selain itu, penulisan sejarah yang tidak objektif dan terlalu memihak salah satu pihak, terkadang dapat menimbulkan konflik di suatu daerah. Apalagi kalau penulisan itu merupakan karya “pesanan” yang ingin membuat seseorang atau suatu pihak seolah-olah tampil lebih hebat dari sebenarnya.

Hal-hal seperti itulah yang menjadi bahan pembahasan dalam Workshop Peningkatan Kapasitas Tenaga Bidang Kesejarahan Bagi Penulis Sejarah yang diselenggarakan Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Hotel Ambara, Jakarta Selatan, 28 Februari sampai dengan 3 Maret 2017.

Kegiatan itu terbuka untuk umum, terutama bagi mereka yang bukan mempunyai latar belakang pendidikan sejarah. Setelah diumumkan di situs web Direktorat Jenderal Kebudayaan, maka meski tenggang waktu hanya dua minggu, peminatnya cukup banyak. Padahal calon peserta diwajibkan membuat proposal penulisan sejarah yang akan dikerjakannya.

Sampai batas akhir, tercatat ada 105 calon peserta dari Jakarta, 68 orang dari Yogyakarta, 69 dari Surabaya, dan tidak sampai 50 calon peserta di Bandung. Keempat kota itu memang menjadi tempat pelaksanaan workshop yang dilaksanakan dalam waktu bersamaan.  Untuk setiap kota, ditetapkan maksimal 50 orang. Mengingat dari Jakarta calon pesertanya terlalu banyak dan hanya 50 orang yang lolos seleksi, maka ditawarkan kepada yang tidak lolos seleksi untuk ikut acara serupa di Bandung. Ternyata ada beberapa yang berminat, sehingga jumlah peserta workshop di Bandung mencapai jumlah 50 orang juga.

Peserta workshop penulis sejarah di Jakarta. (Foto: Akmal Maulana)
Peserta workshop penulis sejarah di Jakarta. (Foto: Akmal Maulana)
Latar belakang pesertanya bermacam-macam. Ada yang berlatar belakang pendidikan teknik, aspiraris, blogger, jurnalis, seniman, dan berbagai latar belakang lainnya. Semuanya berkomitmen untuk menghasilkan tulisan sejarah yang bisa bermanfaat bagi masyarakat luas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun