Tiga anggota komunitas Indonesia Scout Journalist (SJ), Mutiara Adriane (kiri), Hamas Rafsanjani (tengah), dan Alivia Soraya (kanan), memegang plakat berisi usulan menjadikan Dr. Moewardi sebagai Bapak Pandu Indonesia, yang terdapat di dalam Museum Dr. Moewardi di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. (Foto: R. Andi Widjanarko, ISJ)
Tulisan saya bertajuk “Dr. Moewardi, Bapak Pandu Indonesia?” ternyata mendapat sambutan hangat para Kompasianer. Kurang dari sehari, yang membaca sudah lebih dari 375 orang, belum lagi yang menanggapi. Soal yang menanggapi ini, ada yang langsung berkomentar di bawah tulisan itu pada Kompasiana, namun ada juga yang berkomentar ketika saya menyertakan tautan tulisan tersebut di akun Facebook saya.
Banyak yang setuju terhadap besarnya jasa Dr. Moewardi kepada kepanduan Indonesia sehingga layak disebut “Bapak Pandu Indonesia”. Tetapi ada juga yang mempertanyakan nama-nama lain seperti Presiden Soekarno, Jenderal Soedirman, dan KH Agus Salim. Termasuk pula yang rupanya tidak membaca teliti tulisan saya tadi, menanyakan kembali kenapa bukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang disebut Bapak Pandu Indonesia.
Padahal, dalam tulisan tersebut sudah saya jelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah Bapak Pramuka Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste), pada 1988. Jadi bisa saja Dr. Moewardi dijadikan Bapak Pandu Indonesia bersanding dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Dari Pandu ke Pramuka, agar terlihat kesinambungan sejarah dari masa kepanduan sebelum 1961 ke masa kepramukaan setelah 1961.
Walaupun, masih dalam tulisan tadi, saya juga mengungkapkan, ada juga yang menganggap Pandu adalah Pramuka, dan Pramuka adalah Pandu. Maka, cukup satu saja yang diberi sebutan Bapak Pramuka atau Bapak Pandu Indonesia. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX sudah lebih dulu diberi gelar itu, maka cukup satu saja.
Tapi, baiklah kembali ke soal nama-nama yang disebutkan dalam komentar menanggapi tulisan saya. Presiden Soekarno, jelas beliau bukan tokoh pandu, karena beliau itulah yang meleburkan semua organisasi kepanduan ke dalam satu wadah, Gerakan Pramuka. Lalu tentang Jenderal Soedirman, yang memang pada masa mudanya pernah ikut dalam kegiatan kepanduan. Namun, dari catatan-catatan sejarah yang ada, Jenderal Soedirman lebih dikenal sebagai seorang pejuang dalam bidang kemiliteran dan merupakan salah satu organisasi nasional tentara Republik Indonesia yang kini dikenal dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Itulah sebabnya, Pak Dirman – panggilan akrabnya – juga disebut sebagai Panglima Besar TNI.
Lalu bagaimana dengan KH Agus Salim? Menurut data sejarah, Agus Salim dilahirkan dengan nama Mashudul Haq di Kota Gadang, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Berarti ketika gerakan pendidikan kepanduan masuk ke bumi Nusantara pada 1912, Agus Salim telah berusia sekitar 28 tahun. Usia itu menunjukkan bahwa dia tak mungkin lagi mengecap pendidikan kepanduan sebagai peserta didik, yang umumnya di negara mana pun berusia antara 6 atau 7 tahun sampai 23 atau 25 tahun.
Tetapi sebagai tokoh Sarekat Islam, KH Agus Salim memang menaruh perhatian pada pendidikan kepanduan. Dia juga yang mengusulkan penggunaan kata “pandu” dan “kepanduan” untuk mengganti istilah padvinder dan padvinderij dalam Bahasa Belanda. Usulan itu disebabkan adanya larangan bagi organisasi-organisasi kepanduan yang didirikan dan beranggotakan bumiputera untuk menggunakan istilah dan nama padvinder dan padvinderij. Saat itu, dalam masa pendudukan Belanda dan Indonesia masih bernama Hindia-Belanda, memang pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa penuh.
Namun untuk tetap mengembangkan kegiatan pendidikan kepanduan, kaum bumiputera tak kalah akal. Antara lain Agus Salim yang mengemukakan agar digunakan saja kata “pandu” (pandoe) dan “kepanduan” (kepandoean). Dia mengemukakan hal itu pertama kali dalam kongres Sarekat Islam Afdeeling Padinderij (SIAP) di Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah, pada 1928. SIAP adalah bagian atau divisi dari Sarekat Islam untuk kegiatan kepanduan. Sesuai usul Agus Salim, SIAP berubah kepanjangannya menjadi Sarekat Islam Afdeeling Pandoe.
Dari data sejarah tercatat memang KH Agus Salim itulah yang mengusulkan penggunaan kata “pandu” dan “kepanduan”. Tetapi bisa dikatakan, sama seperti Wage Rudolf Supratman, komponis yang menggubah lagu Indonesia Raya, yang kelak menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia. Supratman sering disebut bukan seorang Pandu – kalau pun dia ikut kegiatan kepanduan hanya sekadar anggota biasa yang kurang berperan – tetapi dia begitu terinspirasi dengan kata “Pandu”, sehingga memasukkan kata itu dalam lirik lagunya, “Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri, jadi Pandu ibuku, ……”. Boleh juga disebutkan sama seperti Presiden Soekarno. Bisa dikatakan dia yang membentuk Gerakan Pramuka, namun dia bukan Bapak Pramuka Indonesia.
Seperti itu juga keberadaan Dr. Moewardi. Dia bukan sekadar anggota biasa di kepanduan, namun dia adalah anggota yang aktif sejak menjadi peserta didik di usia mudanya. Bahkan karena cintanya kepada kepanduan nasional dan Tanah Airnya, dia menolak diangkat sebagai Troep Leider atau pimpinan pasukan saat masih bergabung dengan dalam organisasi Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (NIPV). Moewardi menolak dan memilih ke luar, karena dia diharuskan mengucapkan janji setia kepada Raja Belanda.