Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ditolak Masuk Hotel, Orang Arab Bikin Hotel Sendiri di Jakarta

3 Maret 2017   17:28 Diperbarui: 4 Maret 2017   20:00 5908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hotel des Galleries yang dibangun orang Arab di Jakarta ketika masih bernama Batavia. (Foto: colonialarchitecture.eu)

“Ditolak masuk hotel, orang Arab bikin hotel sendiri di Jakarta,” demikian kisah yang pernah diceritakan kepada saya beberapa waktu lalu. Tentu saja ini tak ada hubungannya dengan kunjungan kenegaraan Raja Salman dari Arab Saudi. Sang Raja bersama sekitar 1500 anggota rombongan disambut hangat dan dapat menikmati menginap di hotel-hotel mewah di Jakarta dan Bali.

Hanya kebetulan saja, kisah tadi teringat kembali ketika dalam pekan ini saya mengikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Tenaga Bidang Kesejarahan bagi Penulis Sejarah. Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, pada 28 Februari sampai dengan 3 Maret 2017.

Salah satu aktivitasnya adalah ekskursi ke kawasan Kota Tua Jakarta. Istilah Kota Tua Jakarta merujuk kepada suatu wilayah yang kini masuk ke dalam Kotamadya Jakarta Barat, dan merupakan awal mula adanya kota Jakarta saat ini. Lokasinya di sekitar bekas Balai Kota (Stadhuis) Batavia, nama Jakarta ketika zaman penjajahan Belanda, yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Berdekatan pula dengan Stasiun Kereta Api Jakarta Kota.

Rombongan yang terdiri dari para penulis sejarah, kemudian berjalan kaki mengitari kawasan Kota Tua Jakarta tersebut. Kembali ke tempat workshop di Jakarta Selatan, rombongan menggunakan bus sewaan. Setelah menyusuri Jalan Hayam Wuruk, bus yang ditumpangi rombongan sempat berhenti di perempatan lampu lalu lintas Harmoni. Ketika melihat ke kiri jalan, terdapat suatu bangunan besar memanjang berwarna putih.

Bagian samping bekas Hotel des Galleries. (Foto: BDHS)
Bagian samping bekas Hotel des Galleries. (Foto: BDHS)
Untung bus berhenti cukup lama menunggu lampu lalu lintas menyala hijau. Saya sempat memperhatikan bangunan itu, dan bahkan memotretnya dari balik kaca bus yang saya tumpangi. Itulah bangunan yang memiliki kisah sejarah unik, yang pernah diceritakan oleh sahabat saya, Candrian Attahiyyat. Dia adalah arkeolog lulusan Universitas Indonesia yang puluhan tahun mendalami sejarah Kota Tua Jakarta, sehingga oleh banyak orang dianggap sebagai salah satu pakar Kota Tua Jakarta. “Bangunan ini berdiri gara-gara ada orang Arab yang ditolak masuk Hotel des Indes,” celoteh Candrian.

Sampai awal 1960-an, hotel terbaik di Jakarta memang adalah Hotel des Indes. Namun ketika masih dalam penjajahan Belanda dan Jakarta masih dinamakan Batavia, hanya orang Eropa yang boleh menginap di sana. Suatu ketika ada orang Arab yang ingin menginap di Hotel des Indes. Ternyata ditolak. Kesal dengan penolakan itu, akhirnya keluarga orang Arab itu membangun hotel di seberang jalan Hotel des Indes, dan bahkan terbilang dapat bersaing kemewahan arsitektur dan fasilitasnya.

Bangunan putih itulah yang menjadi saingan Hotel des Indes itu dinamakan Hotel des Galleries, demikian dikatakan Candrian Attahiyyat merujuk pada buku yang dibacanya. “Saya barusan baca buku yang judulnya The Hadrami Awakening: Comunity and Identity in the Netherlands Indie 1900-1942 yang ditulis oleh Natalie Mobini-Kesheh terbitan Cornell University, New York 1999. Disebutkan oleh Natalie bahwa bangunan yang berlokasi di pojok Jalan Hayam Wuruk-Harmoni Jakarta Pusat adalah hotel yang dikelola oleh anaknya Bin Abdat yang bernama Shaykh Salih bin Ubayd bin Abdat, orang Arab penting dalam organisasi Al Irsyad awal abad ke-20,” tulis Candrian Attahiyyat dalam laman Facebook-nya.

“Yang menarik dalam cerita buku tersebut adalah wawancara dengan manajer hotel yang bernama Hussein Badjerei yang dikutiip kembali oleh Natalie,” tambah Candrian.

Menurut Hussein Badjerei, dibangunnya hotel mewah tersebut dikarenakan kemarahan Shaykh Salih bin Abdat ketika ditolak masuk Hotel des Indes, hotel yang paling mewah di  dengan alasan bukan orang Eropa. Peristiwa tersebut terjadi pada akhir 1920-an. Kemudian anaknya bin Abdat membangun hotel tak kalah mewah dan diberi nama Des Galleries.

Kondisi Terbengkalai

Informasi yang diperoleh, Hotel des Galleries dibangun pada 1930 berdasarkan rancangan EGH Cuypers, arsitek terkemuka di Batavia. Cuypers kemudian bekerja sama dengan AF Dijkstaal membangun gedung yang posisinya berada di sudut pertemuan Molenvielt dan Noordwijk, yang sekarang merupakan pojok Jalan Hayam Wuruk berbelok ke arah Jalan Juanda, Jakarta Pusat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun