Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Din Syamsuddin: Bisakah Kita Hidup Damai dengan yang Berbeda?

12 Oktober 2016   10:14 Diperbarui: 12 Oktober 2016   21:03 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Din Syamsuddin (kanan) berbicara dengan salah satu peserta World Culture Forum 2016. (Foto: BDHS, 2016)

“Saya tinggal di selatan Jakarta di suatu komplek perumahan yang tetangga saya adalah orang Batak dan agamanya bukan Islam. Tetapi justru itulah tugas yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Apakah kita bisa hidup damai dengan tetangga atau komunitas yang berlainan suku dan berlainan agama atau tidak?” Ucapan ini datang dari Profesor Din Syamsuddin, tokoh ilmuwan agama yang saat ini adalah Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia.

Dilanjutkan oleh Din Syamsuddin, “Jadi kalau ada orang yang ingin eksklusif hidup hanya dengan kelompok yang sama dengannya, dan meminta orang lain yang tidak sama latar belakangnya untuk ke luar dari lingkungan itu, sebenarnya itu adalah bukti kegagalan menjalankan tugas dan amanat Tuhan”.

Penegasan itu disampaikan Din Syamsuddin saat menjadi pembicara pada simposium bertajuk “Cultural Diversity for Responsible Development” (Keberagaman Budaya untuk Pembangunan yang Bertanggung Jawab) yang diadakan di Nusa Dua Convention Centre, Bali, pada Rabu, 12 Oktober 2016.

Dibuka dengan penampilan tarian Mandau Giring-giring dari Kalimantan Tengah, simposium ini merupakan satu dari tiga simposium yang diadakan pada waktu bersamaan di ruang lainnya. Simposium lainnya bertajuk 'Culture in the New Digital World”' (Kebudayaan dalam Dunia Digital Baru) yang menampilkan pembicara Luisella Mazza (Pimpinan Operasi Institut Budaya Google), Jill Cousins (Direktur Eksekutif Europeana), Ahn Kwang-Han (Presiden dan CEO MBC Korea), dan Belva Devara (Pendiri dan CEO Ruangguru.com).

Satu simposium lainnya adalah 'Reconciling State, Community, and Cultural Divides' (Merekonsiliasi Negara, Masyarakat, dan Kebudayaan yang Terpecah). Simposium ini menampilkan pembicara Celio Turino (Culture Points Brazil), Kuan-Hsing Chen (Profesor dari Universitas Nasional Chiao Tung,Taiwan), Nani Zulminarni (pendiri PEKKA dan pakar studi jender).

Moderator, pembicara, dan pembahas pada simposium di World Culture Forum 2016. (Foto: BDHS, 2016)
Moderator, pembicara, dan pembahas pada simposium di World Culture Forum 2016. (Foto: BDHS, 2016)
Sementara pada simposium yang menghadirkan Din Syamsuddin sebagai pembicara, juga hadir pembicara lainnya, Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (profesor antropologi Universitas Indonesia) dan Prof. Moncel Ben Abdeljalil (Dekan Fakultas Sastra dan Ilmu Humaniora di Universitas Sousse, Tunisia). Bertindak sebagai pembahas adalah Dr. AKP Mochtan (Deputi Sekretaris Jenderal ASEAN), serta yang menjadi moderator adalah Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra (professor antropologi Universitas Gajah Mada).

Saat menyampaikan pandangannya, Din Syamsuddin juga menekankan perlu dikembangkannya budaya berbagi. Dikatakannya, budaya berbagi adalah sikap aktif yang harus dikembangkan dalam kehidupan penuh keberagaman dewasa ini. Jadi semua masyarakat harus memelihara sikap saling mengerti, saling menghargai, dan bahkan bekerja sama satu sama lain.

Berbagi dalam banyak hal, mulai dari berbagi ilmu, berbagi ruang, berbagi sumber daya, dan mengembangkan toleransi dan sebaiknya jangan menyentuh hal-hal yang sensitif, yang dapat mengganggu keberagaman hidup bersama.

Prof. Din Syamsuddin. (Foto: BDHS, 2016)
Prof. Din Syamsuddin. (Foto: BDHS, 2016)
Sementara Prof. Achmad Fedyani Saifuddin mengatakan bahwa pembangunan tidak bisa hanya melulu mengedepankan masalah ekonomi. Sudah jamak diketahui bahwa dalam pembangunan, budaya atau kebudayaan sering dianggap tidak penting. Padahal justru budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan.

Menariknya, Prof. Moncel Ben Abdeljalil dari Tunisia justru menunjuk pada Pancasila sebagai contoh bagaimana mengembangkan pluralisme dan upaya saling menghargai perbedaan budaya. Dikatakannya, butir-butir dalam Pancasila, justru menjadi penting dan harus menjadi acuan untuk mengembangkan sikap saling toleransi antara mereka yang berbeda latar belakang, untuk saling menghormati satu sama lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun