“Damai’ dan “harmoni” merupakan dua kata penting yang diucapkan dalam simposium bertajuk “Interweaving History, Urban Space and Cultural Movement”, salah satu dari tiga simposium utama World Culture Forum (WCF) 2016 yang diadakan di Bali Nusa Dua Convention Centre, pada Selasa, 11 Oktober 2016. Kegiatan WCF itu sendiri berlangsung dari 10 sampai 14 Oktober 2016.
Tiga pembicara yang tampil adalah Nyoman Nuarta, perupa asal Bali yang menetap di Bandung, lalu Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, dan Arief Aziz, Direktur Kampanye Change.org Indonesia. Ketiganya beberapa kali mengucapkan kedua kata tersebut, “damai” dan “harmoni”.
Nyoman Nuarta misalnya, mencontohkan keberadaan taman-taman budaya dapat membantu membuat dunia menjadi lebih baik. Sementara Ridwan Kamil malah menyebutkan bahwa dia sempat berpikir menjadi lebih modern berarti menjadi damai. Tetapi ternyata tidak demikian keadaannya.
Sedangkan Arief Aziz yang berbicara atas nama Change.org, suatu situs web yang memberikan kesempatan kepada orang biasa untuk membuat petisi agar unek-unek, keluhan, dan kritik mereka didengar oleh pihak yang diberi petisi mengatakan, damai dan harmoni adalah unsur penting agar orang berani bersuara, berani berekspresi menyatakan pendapatnya.
Hal senada juga diungkapkan Ridwan Kamil. Dikatakannya di masa Orde Baru, perkembangan berarti ekonomi. Padahal pembangunan seharusnya tidak melulu tentang ekonomi, tetapi juga hal-hal lain. Dia misalnya mencontohkan Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di tempat itu ada “hutan larangan” yang warga tak berani menebang dan menghancurkan hutan. Tetapi di masa modern, di mana-mana orang diajak harus berfikir logis, bukan tak mungkin keberadaan hutan tersebut menjadi bisa terdesak atas nama pembangunan. Itulah sebabnya, Ridwan Kamil mengharapkan agar semua pihak juga membantu melestarikan hukum-hukum adat.
Sedangkan terkait dengan damai dan harmoni, Wali Kota Bandung itu mengungkapkan dalam kata-kata “silih asih, silih asah, dan silih asuh”. Artinya ada rasa kasih saying, saling menghargai, dan saling membantu mengembangkan bersama. Dia bahkan menekankan, manakala sikap saling menghargai tidak lagi dianggap penting, pada saat itu jugalah situasi menjadi berbahaya.
Masalah demokrasi saat ini, tutur Ridwan Kamil, adanya tirani mayoritas yang kurang terdidik yang dapat menimbulkan sikap fundamentalis dan keinginan hanya satu saja yang dibolehkan. Padahal menghargai keberagaman, menghargai pruralisme, adalah hal penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Hampir mirip dengan itu, Arief Aziz juga mengungkapkan bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” atau bersatu dalam keberagaman itu tidak ada “tapinya”. Tidak bisa kita mau bersatu, tapi …. Atau kita mau menerima orang lain, tapi ….
“Tidak harus pendapatnya sama semua, namun orang harus diajak untuk menjadi berani dalam berpendapat,” tutur Arief.