Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cirebon, dari "Campuran" sampai "Air Udang Kecil"

9 Juni 2017   12:39 Diperbarui: 9 Juni 2017   15:21 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keraton Kanoman di Cirebon dalam foto koleksi Tropen Museum. (Foto: commons.wikimedia.org)

Berbicara tentang sejarah Cirebon, suatu kota pelabuhan di utara Pulau Jawa yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat, tentu tak bisa lepas dari kitab atau naskah bertajuk Purwaka Caruban Nagari(PCN). Berdasarkan informasi yang ada, PCN ditulis oleh Pangeran Aria Cirebon pada 1720. Dia adalah putera Sultan Kasepuhan yang pernah menjadi penghubung antara para Bupati Priangan dengan VOC, kongsi dagang Hindia-Belanda yang sempat menguasai nusantara, antara kurun 1706-1723.

Naskah PCN tersebut terdiri dari 24 bagian. Isinya dimulai ucapan syukur kepada Sang Maha Pencipta, dan selanjutnya diterangkan oleh penulisnya, maksud penyusunan naskah tersebut untuk menceritakan sejarah Cirebon.

Di bagian kedua naskah itu terdapat informasi mengenai nama Cirebon. Disebutkan antara lain, nama Cirebon awalnya adalah Sarumban, lalu diucapkan Caruban, akhirnya Carbon, Cerbon, dan menjadi Cirebon. Sarumban sendiri berarti campuran, karena di Cirebon terjadi percampuran berbagai suku dan budaya, sebagaimana kemudian diterangkan dalam bagian-bagian selanjutnya dalam PCN.

Mengenai nama Cirebon ini ada juga catatan lain yang disampaikan PS Sulendraningrat, seorang tokoh keraton Cirebon yang juga menyusun sejarah Cirebon. Anaknya almarhum Rahman Sulendraningrat, pernah menjadi mahasiswa Arkeologi Universitas Indonesia, satu angkatan dengan dua Kompasianer, Djulianto Susantio dan Berthold Sinaulan.

Menurut PS Sulendraningrat, penamaan Cirebon berasal dari tradisi pembuatan terasi di wilayah itu. Seperti diketahui, di Cirebon yang juga dikenal sebagai “Kota Udang”, terdapat berbagai produk makanan dan bahan makanan berbahan dasar udang, salah satunya adalah terasi yang menggunakan rebon atau udang kecil. “Ci” atau “Cai” dalam Bahasa Sunda yang juga digunakan di Cirebon berarti air yang juga campuran penting untuk membuat terasi. Dua nama bahan dasar itu digabungkan, “ci” dan “rebon”, maka jadilah Cirebon.

Sebagai tambahan data, konon pembuatan terasi di Cirebon telah dilakukan sejak zaman Pangeran Cakrabumi atau Cakrabuana. Nama Cakrabuana juga terdapat pada bagian kedua PCN yang menyebutkan, Cirebon berada dibawah kekuasaan Susuhunan Jati Purba Wisesa, salah seorang wali di Pulau Jawa, ia dikukuhkan menjadi panetep panatagama Islam (pemimpin dan penyebar agama Islam) di wilayah Sunda. Ia menjalankan pemerintahan di istana Pakungwati bersama uwak (paman) nya, Pangeran Cakrabuana, yang bergelar Sri Manggana. Uwaknya itu menjadi Kuwu Cirebon kedua, dan juga sebagai manggala atau panglima angkatan bersenjata di kerajaan tersebut.

Kembali lagi ke PCN, di dalamnya disebutkan silsilah para pemimpin yang menguasai Priangan dan Cirebon, termasuk tentu saja Prabu Siliwangi yang terkenal itu. Menariknya di bagian kedelapan PCN disebutkan kedatangan armada kapal-kapal Tiongkok di bawah pimpinan Panglima Besar Wa Heng Ping dan Laksamana Cheng Ho, dalam perjalanan mereka menuju Majapahit.

Pasukan angkatan laut Tiongkok itu menurut PCN sempat membangun mercusuar di puncak Gunung Amparan Jati. Dalam perkembangannya, tak sedikit orang-orang asal Tiongkok yang menetap di tanah Cirebon. Jadi tak heran bila sejak dulu budaya Tiongkok telah menjadi bagian yang menyatu dalam seni budaya di Cirebon.

PCN juga menceritakan kisah perjalanan ke Mekkah dan juga tentang bagaimana Islam berkembang di Cirebon. Diteruskan di bagian kesembilan belas yang menyebutkan, Syarif Hidayat yang bergelar Susuhunan Jati pergi menyiarkan ajaran Islam ke Banten. Di Banten, Syarif Hidayat memperistri Nyai Kawunganten, adik Bupati Banten. Melalui perkawinan ini, bupati Banten dan sebagian pembesar serta warga masyarakat Banten menjadi penganut agama Islam.

Sedangkan mengenai angka-angka tahun penting, bisa diperoleh di bagian terakhir atau bagian ke-24 PCN. Di situ disebutkan antara lain, Syarif Hidayat dilahirkan di Mekah pada 1448, dan setahun kemudian lahirlah adiknya, Syarif Arifin atau Syarif Nurullah. Pada 1470, Syarif Hidayat tiba di Cirebon, dan setahun kemudian menikah dengan Nyai Babadan di Babadan. Nyai Babadan meninggal pada 1477, dan tidak sempat mempunyai anak. Pada 1478, Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Pakungwati, putri uwaknya. Pada 1481, Syarif Hidayat menikah dengan Ong-Tien yang meninggal pada 1488. Dengan putri Ong-Tien ini, Syarif Hidayat mempunyai seorang putra yang meninggal ketika baru lahir di Luragung.

Disebutkan juga, bahwa pada 1475, Syarif Hidayat menikah dengan Nyai Kawunganten dan mempunyai dua anak, yaitu Ratu Winaon (1477) yang kemudian menjadi istri Pangeran Raja Laut, dan Pangeran Sabangkingkin (1478) yang kemudian berkuasa mewakili ayahnya sebagai Sultan di Banten pada 1552 dengan gelar Pangeran Hasanudin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun