Tidak, ini bukan tulisan sadis tentang kriminalitas berdarah-darah. Tapi tentang fungsi suatu benda yang sebenarnya salah satu penanda kedaulatan suatu negara. Sayangnya, sudah 12 tahun ini fungsi itu coba "dibunuh", atau dimatikan seolah tak berlaku lagi.
Ini adalah suatu benda yang bernama prangko, sekeping kertas kecil yang sama seperti mata uang, merupakan penanda kedaulatan suatu negara yang merdeka. Â Bahkan terbukti juga, yang buka negara atau kelompok pemberontak di suatu negara ada pula yang menerbitkan prangko dan mata uang, agar diakui keberadaannya sebagai suatu negara merdeka. Tentu saja, baik prangko maupun mata uang "pemberontak" itu dianggap ilegal dan tidak berlaku.
Tapi yang dibicarakan di sini adalah prangko resmi yang memang dicetak dan diterbitkan oleh negara merdeka dan berdaulat. Ya, itulah prangko Republik Indonesia. Kebetulan, saat membuka akun Facebook, menemukan kembali catatan 12 tahun lalu yang ditulis di laman Facebook. Catatan yang saya unggah pada 30 Januari 2009 itu berjudul "Prangko Tak Berlaku Lagi".
Saya kutipkan selengkapnya di sini:
Prangko Tak Berlaku Lagi
Tadi siang saya mampir ke Kantor Pos di Lapangan Banteng. Saya bermaksud mengirim suratpos tercatat (R = Registered) ke dua alamat berbeda di Amerika Serikat. Di depan loket pos pengiriman suratpos R itu, terpampang sebuah pengumuman.
Isinya kurang lebih, bahwa terhitung awal Februari 2009 untuk pelunasan biaya pengiriman suratpos R ke luar negeri/internasional, dibayar tunai dan tidak menggunakan prangko lagi.
Pengumuman dari manajemen PT Pos Indonesia menambah panjangnya cara pengiriman suratpos di kantor pos yang tidak lagi menggunakan prangko. Sebelum itu, sudah cukup banyak layanan pengiriman suratpos yang juga tidak lagi menggunakan prangko.
Jadi, prangko tampaknya sudah tak berlaku lagi. Pertanyaannya, buat apa lagi prangko baru dicetak dan diterbitkan lagi, kalau pada kenyataannya hampir-hampir tak digunakan sama sekali. Daripada menghabiskan uang untuk mencetak prangko baru yang juga butuh biaya untuk memikirkan tema, biaya desain, biaya survei dan lainnya, mengapa tidak dilakukan penghematan saja. Bukankah cukup mencetak ulang dari prangko yang sudah ada, khususnya prangko biasa (definitif)?
Prangko sudah tak berlaku lagi, jadi buat apa dicetak terus-menerus?
Telah Bekali-kali