Bertepatan dengan Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2020, saya menemukan kembali dua lembar kertas lama bersejarah. Keduanya adalah kertas-kertas bersejarah dari zaman penjajahan Jepang di Indonesia. Dari kedua bukti sejarah itu terlihat, walau pun di masa sulit seperti pada saat penjajahan, calon buruh atau calon pekerja yang ingin bekerja di instansi pemerintah, dicek juga kesehatan dan kelakuannya.
Lembar pertama adalah surat keterangan kesehatan untuk seorang yang bernama Arjonan. Menurut surat keterangan yang ditandangani Dr. M. Soenarto, Arjonan telah diperiksa dan dinyatakan berbadan sehat untuk menjadi kuli tetap pada Dinas Pos dan Kawat. Kuli tetap mungkin berarti pekerja tetap yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Sedangkan Dinas Pos dan Kawat adalh Dinas Pos dan Telegraf dari Departemen Pos, Telepon, dan Telegraf (PTT) yang sekarang menjadi PT Pos Indonesia dan PT Telkom.
Disebutkan bahwa Arjonan akan bekerja di Dinas Pos dan Kawat di Sukabumi. Surat keterangan sehat yang dalam lembar tersebut disebut "Surat Doktor" itu ditandatangani Dr. M. Soenarto di Sukabumi pada 21 Hachigatsu 2603 (penanggalan Jepang yang berarti 21 Agustus 1943).
Menariknya kata "dokter" ditulis dengan "doktor". Diperkirakan itu terjemahan dari kata "doctor", dan baru belakangan dibedakan antara "dokter" (kesehatan) dengan "doktor" yang merupakan sebutan bagi mereka yang telah menyelesaikan kuliah S-3 di perguruan tinggi.
Sama seperti lembar pertama, lembar kedua ini juga berasal dari daerah Sukabumi Si, tepatnya dari Kota Wetan Ku. Sekadar informasi, dalam masa penjajahan Jepang di Indonesia, terjadi pembagian wilayah kekuasaan, menjadi tiga pemerintahan militer. Tentara Angkatan Darat Pasukan XVI memerintah Pulau Jawa dan Madura berkedudukan di Jakarta, Tentara Angkatan Darat Pasukan XXV memerintah Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, dan Armada Angkatan Laut Selatan II memerintah Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Papua, berkedudukan di Makassar.
Di Jawa dan Madura, dalam struktur pemerintahan dibentuk Syuu setingkat karesidenan, dikepalai Syuutyo, lalu Si setingkat Kotapraja, dikepalai Sityo,  Ken setingkat Kabupaten, dikepalai Kentyo,  Gun setingkat Kawedanan, dikepala Guntyo,  Son seingkat Kecamatan, dikepalai Sontyo, dan  Ku setingkat Desa, dikepalai Kutyo (baca lengkapnya di: https://www.abdidesa.com/2018/06/pemerintahan-desa-pada-jaman-jepang.html). Berarti Sukabumi Si adalah Kotapraja Sukabumi (semacam Kotamadya di masa sekarang) dan Kota Wetan adalah Desa.
Jadi surat keterangan kelakuan baik itu dikeluarkan oleh Kepala Desan Kota Wetan. Surat keterangan itu menyebutkan bahwa Soerjadi, upas (pegawai) Pos Sukabumi, tidak tersangkut perkara kepolisian apa pun, demikian diterangkan oleh Kepala Kota Wetan Ku.
Dua lembar itu sangat sederhana hanya berukuran 1/4 (sepereempat) ukuran kertas folio (A4) atau sekitar 10 x 15 cm, juga hanya diketik dengan mesin ketik biasa di atas lembaran kertas yang juga tak terlalu bagus. Namun merupakan bukti sejarah penting bagi dunia perposan di Tanah Air, dan sekaligus bukti bahwa pada masa lalu pun untuk menjadi buruh atau pegawai di instansi pemerintah harus melalui serangkaian pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan dan kelakuan calon buruh atau pekerja itu.
Inilah dua lembar kertas sederhana namun menyimpan sejarah penting negeri tercinta  kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H