Perjanjian menyebut tentara Sekutu setelah mengalahkan pasukan Balatentara Dai Nippon di kancah Perang Dunia II, akan mengembalikan wilayah yang tadinya milik Belanda (termasuk Hindia-Belanda yang kemudian menjadi Republik Indonesia).
Itulah sebabnya, uang-uang yang diedarkan oleh Belanda di Indonesia setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, disebut dengan uang NICA.
Tapi tentu Pemerintah RI tidak berdiam diri. Beberapa bulan sebelum prangko pertama Republik Indonesia terbit, Pemerintah RI juga telah menerbitkan uang kertas. Meski pun saat itu, Pemerintah RI terpaksa mengungsi ke Yogyakarta, karena Jakarta yang tadinya merupakan ibu kota telah dikuasai Belanda.
Pada 29 Oktober 1946, Bung Hatta yang merupakan Wakil Presiden mengeluarkan pengumuman bahwa Republik Indonesia akan mempunyai mata uang sendiri yang diterbitkan keesokan harinya. Uang Jepang maupun uang Hindia-Belanda (yang diterbitkan de Javasche Bank) dinyatakan tak berlaku lagi.
Di daerah-daerah karena sulitnya distribusi uang tersebut, maka dicetak dan diterbitkan pula Orida atau Oeang Republik Indonesia Daerah. Orida ini ada bermacam-macam namanya, sesuai dengan wilayah di mana uang itu dicetak.
Dari laman Kementerian Keuangan, disebutkan nama-nama Orida itu antara lain ORIDABS-Banten, ORIPS-Sumatera, ORITA-Tapanuli, ORIPSU-Sumatera Utara, ORIBA-Banda Aceh, ORIN-Kabupaten Nias dan ORIAB-Kabupaten Labuhan Batu (kemenkeu.go.id).
Uang NICA Vs ORI
Mungkin sudah beberapa kali ditulis tentang Uang NICA versus (vs.) ORI (Oeang Republik Indonesia). Tapi kembali pada guntingan koran di atas, peran Adnan Kapau (AK) Gani cukup berarti. Ia seorang dokter yang menjadi Wakil I Perdana Menteri merangkap Menteri Kemakmuran RI dari 11 November 1947 sampai 29 Januari 1948.
Dalam guntingan koran lainnya dari Harian Merdeka edisi 31 Maret 1947 ada berita berjudul "Nilai Oeang Nica di Singapoera Toeroen Teroes". Ini antara lain karena pedagang-pedagang Tionghoa di Singapura tidak menerima ganti rugi atas kapal-kapal Tionghoa yang disita Angkatan Laut Belanda ketika Perang Dunia II.
Utusan dari Singapura ke Djakarta (Jakarta) untuk menemui pembesar NICA< tidak membuahkan hasil. Akibatnya di pasaran Singapura, uang NICA dianggap tak berharga karena para pedagang di sana -- terutama pedagang Tionghoa -- tidak percaya kepada NICA.
Sebaliknya, uang ORI semakin diperkuat keberadaannya di Indonesia. Kementerian Kemakmuran yang dipimpin AK Gani yang pangkat kemiliteran terakhirnya adalah Mayor Jenderal (Purnawirawan), membuat anjuran terus-menerus kepada kelompok dan organisasi-organisasi dagang Indonesia untuk mengutamakan penggunaan ORI.