Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soal Puisi Sukmawati, Siapakah yang Berhak Menulis Puisi?

4 April 2018   19:28 Diperbarui: 4 April 2018   20:04 1349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukmawati Soekarnoputri memperlihatkan kumpulan puisi (Foto: Istimewa)

Sukmawati Soekarnoputri akhirnya minta maaf. Dalam jumpa pers yang berlangsung di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pada Rabu, 4 April 2018, Sukmawati diberitakan sempat menangis sewaktu menyampaikan permintaan maafnya atas kontroversi terhadap puisinya yang berjudul "Ibu Indonesia". Ditemani Halida Hatta, putri Bung Hatta, Sukmawati menjelaskan kronologi pembacaan puisinya yang menimbulkan masalah tersebut.

Sukmawati menjelaskan mengenai puisi "Ibu Indonesia" yang dibacakannya di tengah pergelaran mode bertajuk "29 Tahun Anne Avantie Berkarya", yang merupakan salah satu acara pada Indonesia Fashion Week 2018. Dia meminta maaf dengan mengungkapkan bahwa tak ada niatan dalam dirinya sebagai seorang muslimah juga untuk menghina umat Islam Indonesia.

Dikatakannya juga, puisi yang dibacakannya itu sebenarnya sudah ada sejak lama, dan merupakan salah satu puisi dalam antologi puisi Ibu Indonesiayang terbit pada 2006, atau sekitar 12 tahun lalu. Menurutnya, puisi tersebut ditulis sebagai, "Refleksi dari keprihatinan saya tentang rasa wawasan kebangsaan yang saya rangkum semata-mata untuk menarik perhatian anak-anak bangsa untuk tidak melupakan jati diri Indonesia asli".

Sukmawati menambahkan, "Puisi ini juga saya tulis sebagai bentuk dari upaya mengekspresikan diri melalui suara kebudayaan sesuai dengan tema acara. Saya pun tergerakkan oleh cita-cita untuk semakin memahami masyarakat Islam nusantara yang berkemajuan sebagaimana cita-cita Bung Karno, dalam hal ini Islam yang bagi saya begitu agung, mulia dan indah. Puisi itu juga merupakan bentuk penghormatan saya terhadap ibu pertiwi Indonesia yang begitu kaya dengan tradisi kebudayaan dalam susunan masyarakat Indonesia yang begitu berbhineka namun tetap tunggal ika."

Setelah cukup panjang lebar, Sukmawati akhirnya meminta maaf sambil menangis, dengan mengatakan dari lubuk hatinya yang paling dalam, "Mohon maaf lahir dan batin kepada umat Islam Indonesia khususnya bagi yang merasa tersinggung dan berkeberatan dengan puisi 'Ibu Indonesia'. Selain itu saya menyampaikan permohonan maaf kepada Anne Avantie dan keluarga serta apresiasi dan terima kasih kepada seluruh fashion designer Indonesia agar tetap berkreasi dan produktif".

Tentu permohonan maaf itu patut dipuji, paling tidak Sukmawati telah sadar bahwa dalam berkarya di dunia seni -- walaupun yang  bersangkutan telah puluhan tahun menggeluti dunia seni -- tidak bisa seenaknya. Meski kata orang "seni itu bebas dan subjektif, tergantung si seniman", tetap ada rambu-rambu ketika karya seni itu ditampilkan ke hadapan masyarakat umum.

Di tengah kecaman kepada Sukmawati tersebut, muncul berbagai puisi "tandingan" untuk menjawab puisi karya Sukmawati itu. Bahkan debat dan diskusi berkembang pula, baik di kalangan sastrawan maupun masyarakat luas, tentang siapakah sebenarnya yang berhak menulis puisi?

Apakah semua orang bisa dan bebas menulis puisi? Kalau ya, apakah setiap orang bisa dan bebas mempublikasikan puisinya untuk masyarakat umum? Ataukah sesungguhnya ada persyaratan dan kriteria tertentu, setiap orang mungkin berhak menulis puisi. Tetapi tidak setiap orang berhak mempublikasikan karyanya kepada masyarakat umum.

Sejumlah buku kumpulan puisi karya beragam penulis dengan berbagai latar belakang. (Foto: BDHS)
Sejumlah buku kumpulan puisi karya beragam penulis dengan berbagai latar belakang. (Foto: BDHS)
Betulkah? Bagaimana menilai dan memilih puisi-puisi yang dibuat sebelum dipublikasikan? Siapa atau adakah lembaga yang berhak menentukan puisi mana yang boleh dan tidak dipublikasikan? Lagi pula dengan perkembangan internet dan media sosial seperti ini, bagaimanakah mencegah seseorang menampilkan karya puisinya dan mempublikasikannya untuk umum?

Jelas sulit. Tetapi mungkin yang perlu diperhatikan, setiap orang boleh menulis puisi, tetapi untuk mempublikasikannya ke pada khalayak umum, perlu diperhatikan norma-norma, etika, dan peraturan yang berlaku.

Masih teringat beberapa waktu lalu, Museum Nasional Indonesia menampilkan lukisan-lukisan karya salah satu maestro seni lukis kita, Basoeki Abdullah. Untuk lukisan-lukisan umumnya, boleh dinikmati setiap pengunjung. Tetapi Basoeki juga terkenal dengan lukisan-lukisan nude (telanjang)nya. Memahami hal ini, pihak Museum Nasional akkhirnya membatasi pengunjung yang boleh masuk ke area lukisan-lukisan nude tersebut, hanya yang telah terhitung usia dewasa yang boleh menyaksikannya.

Begitu pula dengan puisi. Setiap orang berhak menulis puisi. Tetapi untuk mempublikasikannya, ada aturan perundangan yang berlaku. Misalnya puisinya tidak boleh menyinggung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), membuat orang tersinggung -- apalagi kalau ada nama-nama tertentu yang dimasukkan -- dan sebagainya. Sikap moral dan etika masyarakat luas juga perlu diperhatikan. Misalnya penggunaan kata-kata yang terkesan jorok, kotor, bahkan makian, dianjurkan tidak digunakan.

Memang ada yang bilang penyair itu urakan, suka semau gue, tetapi  di mana pun -- apalagi di Indonesia  -- tentu ada batasannya. Bikin puisi yang isinya hanya makian dan penghinaan, patut dipertanyakan. Apakah itu betul puisi atau hanya deretan kalimat penghinaan kasar saja.

Pada akhirnya, menulis puisi adalah hak setiap orang. Tetapi ketika ingin mempublikasikan puisi, perlu diingat aturan yang berlaku, moral dan etika yang ada di masyarakat luas. Semoga Sukmawati tidak jera menulis puisi, dengan tetap memperhatikan keindahan ragam budaya Indonesia tanpa perlu memasukkan unsur-unsur penghinaan SARA dan sejenisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun