Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stop Manipulasi Sastra!

9 Februari 2018   12:41 Diperbarui: 9 Februari 2018   13:00 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Stop manipulasi sastra!", ungkapan itu bergema di kalangan para penggiat sastra di Tanah Air terkait dengan upaya Denny JA (DJA) mencoba "memaksakan" karya yang disebutnya "puisi esai" dan bahwa karya semacam yang dipeloporinya telah menjadi sebuah gerakan, bahkan DJA menyebutnya sebagai angkatan sastra baru.

Sebenarnya, apa yang disebut "puisi esai" oleh DJA, mirip dengan prosa liris yang telah lama dikenal dalam dunia sastra. Hanya oleh DJA diberi tambahan catatan kaki, yang menurutnya merupakan ciri dari sebuah esai. Tentu saja ini dapat diperdebatkan, mengingat banyak sekali esai -- termasuk esai-esai berkualitas -- yang ditulis tanpa catatan kaki satu pun.

Tapi mungkin itu masih bisa dimaklumi sebagian sastrawan, kalau DJA menulis untuk kepuasan diri sendiri dan tidak memaksakan kehendak. Lucunya, DJA mencoba menyebutnya sebagai gerakan dengan mencontohkan ada beberapa penulis yang mengikuti gaya menulis "puisi esai' yang digagasnya. Kenyataannya, hampir semua yang mengikuti gaya menulis itu adalah mereka yang dibayar oleh DJA. Itu terbukti dari proyek DJA untuk mengumpulkan yang disebutnya "puisi esai" dari berbagai provinsi di Indonesia. Tiap penulis dibayarnya Rp 5 juta agar mau menulis seperti yang disebutnya "puisi esai".

Inilah yang kemudian diklaim DJA sebagai gerakan, padahal sesungguhnya mereka hanya dibayar untuk menulis seperti DJA. Belakangan bahkan DJA mengklaim sebagai angkatan sastra baru. Ini juga aneh, karena penyebutan dan penamaan angkatan sastra dilakukan oleh orang lain, setelah mencermati perkembangan suatu gerakan. Bukan baru muncul, langsung disebut angkatan. Apalagi yang menyebut adalah dirinya sendiri.

Hal-hal inilah yang membuat DJA disebut-sebut berusaha memanipulasi sastra Indonesia. Seperti sebelumnya, ketika DJA membayar sejumlah penulis untuk membuat buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh". Bayangkan, DJA yang belum berapa lama berkecimpung di dunia sastra dan selama ini hanya dikenal sebagai konsultan publik yang banyak menggelar survei politik, tiba-tiba namanya dideretkan sejajar dengan nama-nama besar yang benar-benar tokoh sastra Indonesia, seperti WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan lainnya.

Upaya masuk dan menggeluti bahkan mewarnai dunia sastra Indonesia boleh-boleh saja. Tetapi bila sampai membayar orang agar namanya disebut sebagai tokoh sastra dan mengklaim secara sepihak karyanya telah menjadi gerakan bahkan angkatan sastra baru, jelas ini merupakan manipulasi.

"Stop manipulasi sastra!", inilah yang sekarang diteriakkan para penggiat sastra dari seluruh Indonesia. Bahkan termasuk yang sempat ikut proyek buku "puisi esai" dan kemudian menyadari bahwa mereka dimanfaatkan DJA, maka mereka pun mengembalikan uang Rp 5 juta yang telah dibayar dan membuat pernyataan menolak gerakan "puisi esai" tersebut.

Penolakan itu juga karena ternyata dalam kontrak penulisan, dinyatakan bahwa tulisan yang masuk hak ciptanya menjadi milik DJA. Ini semakin memanipulasi lagi, karena seperti para penulis yang dibayar untuk menerbitkan karya, hak cipta seharusnya tetap beada di tangan penulis. Penerbit hanya memegang hak terbit dan hak distribusi saja.

Makin ramailah gema, "Stop manipulasi sastra!".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun