Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pramuka Diajak Menyanyikan "Indonesia Raya" Tiga Stanza

5 Januari 2018   15:41 Diperbarui: 5 Januari 2018   16:12 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: negeripesona.com

Sampai beberapa tahun lalu, para penulis artikel atau tulisan apa pun yang berkaitan dengan gerakan kepanduan yang di Indonesia kini dikenal dengan nama Gerakan Pramuka, cukup banyak yang mengutip  dua baris pertama dari lagu kebangsaan kita "Indonesia Raya". Dua baris berbentuk kalimat yang paling dikutip itu adalah "di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku".

Bukan hanya sebagai kutipan dalam tulisan, tetapi ada juga yang menjadikan kalimat itu sebagai judul tulisan atau judul buku. Memang terkesan gagah dan penuh semangat, ungkapan seorang warganegara Indonesia untuk "berdiri jadi Pandu ibuku". Ibu dalam syair lagu kebangsaan itu merupakan pencerminan dari Ibu Pertiwi, negeri yang kita cintai ini.

Kata 'pandu" merupakan terjemahan dari kata scout, arti sebenarnya adalah mencari informasi yang tepat agar kelompok yang dibimbingnya dapat melangkah dengan benar,  memandu atau menunjuk jalan. Belakangan kata scoutdijadikan istilah untuk menunjuk pada gerakan pendidikan nonformal bagi anak-anak dan remaja yang awalnya diprakarsai oleh seorang purnawirawan tentara Inggris, Robert Baden-Powell.

Kata itu masuk ke Indonesia dalam bahasa Belanda, yaitu padvinder. Belakangan, seorang wartawan yang bernama Agus Salim dan kelak menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia, mengusulkan penggantian kata padvinder menjadi kata dalam Bahasa Indonesia, yaitu pandu.

Wage Rudolf Supratman, sang pencipta lagu "Indonesia Raya" belakangan memasukkan kata pandu itu juga dalam lagu yang kemudian dikukuhkan menjadi lagu kebangsaan Republik Indonesia. Sejak saat itu, mereka yang menyusun tulisan terkait gerakan kepanduan atau sejak 1961 disebut Gerakan Pramuka, sering mengutip kalimat "di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku".

Bisa jadi kutipan itu dipilih para penulis artikel kepanduan atau kepramukaan, karena mereka belum mengenal lengkap lagu "Indonesia Raya". Padahal bukan hanya satu kali disebutkan kata "pandu" dalam lagu kebangsaan itu. Semuanya itu semakin jelas terungkap setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejak dua tahun terakhir ini memperkenalkan kembali secara lengkap lagu "Indonesia Raya" atau sering juga disebut lagu "Indonesia Raya" tiga stanza.

Saat ini, pada acara-acara yang diselenggarakan Kemdikbud atau instansi yang berada di bawah kementerian tersebut, selalu dimulai dengan menyanyikan bersama lagu "Indonesia Raya" tiga stanza tersebut. Mengingat masih banyak masyarakat yang belum hafal, selalu disediakan layar lebar yang menampilkan lirik lagu kebangsaan tersebut secara lengkap. Siapa pun yang menyanyikan lagu "Indonesia Raya", dapat mengikuti secara baik dengan membaca lirk pada layar lebar yang disediakan.

Bagi para anggota Gerakan Pramuka, menyanyikan secara lengkap lagu "Indonesia Raya" tiga stanza memberikan pencerahan, ternyata bukan hanya satu, tetapi dua kali kata "pandu" disebutkan di situ. Pada stanza ketiga di bait ketiga lagu kebangsaan itu dituliskan: "slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya, majulah negrinya, majulah pandunya, untuk Indonesia Raya...".

"Majulah Pandunya untuk Indonesia Raya", kalimat dari stanza ketiga "Indonesia Raya" itulah yang kini sering dikutip mereka yang membuat tulisan-tulisan terkait dengan kepanduan atau kepramukaan. Suatu pernyataan tegas bahwa seperti juga yang terjadi pada "Sumpah Pemuda" yang dicetuskan 28 Oktober 1928, pandu dan kepanduan dianggap demikian penting sampai Wage Rudolf Supratman memasukkannya secara khusus dua kali dalam lirik lagu "Indonesia Raya" yang diciptakannya.

Beberapa anggota Gerakan Pramuka juga sudah cukup sering mengutipnya. Namun belum semua, karena mungkin belum dikenal. Itulah sebabnya, sudah saatnya  agar setiap acara resmi yang penting di lingkungan Gerakan Pramuka, misalnya pada saat upacara peringatan Hari Bapak Pandu Sedunia 22 Februari, Hari Bapak Pramuka Indonesia 12 April, Hari Pramuka 14 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan RI, Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, Hari Pahlawan 10 November, dan acara penting lainnya, para Pramuka diajak menyanyikan lagu kebangsaan "Indonesia Raya" secara lengkap tiga stanza.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun