Merupakan tradisi di lingkungan keluarga saya, setiap Tahun Baru (dan kadang-kadang juga pada saat Natal), kami sekeluarga besar saling tukar-menukar kado atau bingkisan. Bukan hadiah mahal-mahal, meski kalau ada yang mau memberi yang mahal juga tak ada, tetapi cukup hadiah-hadiah kecil sebagai tanda perhatian sesama anggota keluarga.
Hadiah yang dibagikan bisa beragam. Mulai dari kaus, kain batik, handuk, kalung dan gelang, dompet, kosmetika, sampai alat dapur seperti panci dan penggorengan, atau juga alat makan dan minum. Beberapa kali juga ada yang memberikan atau menerima hadiah berupa buku bacaan dan alat tulis-menulis, termasuk tas sekolah.
Begitu juga dengan Tahun Baru kali ini yang kami rayakan bersama di rumah salah satu keluarga kami. Saya mendapat kaus, sementara istri mendapat wadah penyimpan makanan. Kami sendiri telah membagikan hadiah yang kami siapkan pada acara Natal di rumah warisan ayah dan ibu saya, seminggu sebelumnya.
Di luar itu, pada acara Tahun Baru kali ini, saya pun mendapat sebuah buku. Ini bukan hadiah dari keluarga, melainkan dikirim oleh seseorang dari Bali. Kiriman itu sebenarnya telah sampai dua hari lalu, tetapi dialamatkan di rumah warisan ayah dan ibu saya, sehingga baru tadi saya menerimanya dibawakan oleh kakak yang menempati rumah warisan itu.
Berbungkus amplop cokelat, ketika saya buka ternyata isinya buku antologi puisi berjudul "Mengunyah Geram" dengan subjudul yang ditulis dalam tanda kurung (Seratus Puisi Melawan Korupsi). Pengirimnya adalah Wayan Jengki Sunarta, yang menjadi kurator antologi puisi terbitan Yayasan Manikaya Kauci (YMK) bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jatijagat Kampung Puisi.
Antologi puisi tersebut merupakan bagian dari peringatan Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2017 yang diadakan oleh sejumlah komunitas di Bali melalui Festival Antikorupsi dengan tema "Puputan Melawan Korupsi". Seperti disebutkan kurator antologi itu, puputan secara harfiah berarti perang, perlawanan, atau bertempur habis-habisan. Semangat bertempur habis-habisan melawan korupsi, itulah yang diinginkan terus digelorakan melalui festival tersebut.
Maka Komunitas Jatijagat Kampung Puisi dengan YMK dan KPK menginisiasi penerbitan antologi puisi tersebut. Undangan untuk menulis puisi dengan tema "Puputan Melawan Korupsi" pun disebarluaskan. Hasilnya, tercatat lebih dari 800 puisi dari 270 lebih penyair yang masuk ke panitia.
Wayan Jengki Sunarta selaku kurator tunggal kemudian melakukan proses seleksi. Setelah beberapa kali -- termasuk membaca ulang sejumlah puisi -- akhirnya berhasil dipilih puisi-puisi yang layak masuk ke dalam antologi puisi tersebut.
Saya sendiri mengirim tiga puisi, masing-masing berjudul "Puisi Negeri", "Terhinalah, Kau Itulah", dan "Tetaplah Lawan". Puisi pertama berasal dari Juni 2014 yang masih tersimpan dalam laptop lama saya, sedangkan dua puisi berikutnya saya tulis pada Maret 2017 dan November 2017.
Hasilnya, saya mendapat "hadiah" Tahun Baru berupa satu eksemplar antologi puisi tersebut. Berarti ada karya saya yang diterima dan ikut diterbitkan dalam buku itu. Setelah saya buka, ternyata "Puisi Negeri" yang terpilih masuk ke dalam antologi tersebut. Walaupun telah cukup lama saya tulis, puisi itu justru yang lolos seleksi dan bukan dua puisi terbaru saya.
Tulisan sang kurator mungkin memberikan gambaran tentang puisi saya yang telah cukup lama ditulis, berhasil masuk ke dalam antologi itu, ".... di antara banyak puisi yang dikirimkan, ada sejumlah puisi yang bertitimangsa sebelum tahun 2017. Hal ini menunjukkan puisi-puisi perlawanan terhadap korupsi telah ditulis sejak dulu. Dan penerbitan buku ini hanya salah satu pemicu meledaknya puisi-puisi perlawanan terhadap korupsi. Semoga perlawanan itu terus berlanjut".