Selama tiga minggu, dari 31 Juli sampai 19 Agustus 2017, saya bertugas sebagai salah satu dari 20 relawan internasional (international volunteer) di dua acara besar kepanduan tingkat dunia di Azerbaijan. Kedua acara itu adalah 13th World Scout Youth Forum (WSYF) yang diadakan di Gabala, dari 7 sampai 10 Agustus 2017, serta 41st World Scout Conference (WSC) di Baku, ibu kota Republik Azerbaijan, dari 14 sampai 18 Agustus 2017.
Sebelumnya, pada pertengahan Juni 2017 tercatat ada lebih dari 400 calon relawan untuk kedua acara itu dari lebih 100 negara di dunia. Setelah dilakukan seleksi administrasi, dengan juga melihat kelayakan masing-masing calon, maka pihak Association Scouts of Azerbaijan (ASA) atau Asosiasi Kepanduan Azerbaijan sebagai tuan rumah acara tersebut, mengadakan wawancara melalui skype kepada mereka yang lolos tahap pertama.
Dari wawancara itu, panitia kemudian menyaring lagi, sehingga akhirnya tercatat ada 20 relawan yang terpilih. Beruntung saya terpilih sebagai salah satu relawan. Saya sebut beruntung, karena walaupun sebagai relawan kami bekerja tanpa digaji kecuali diberi uang makan dan uang transpor yang perhari sejumlah 15 AZN (mata uang Azerbaijan) yang setara dengan sekitar Rp 120.000.
Untuk transportasi dari tempat penginapan berbentuk hostel yang ditanggung panitia, kami menggunakan baik kereta (semacam KRL di Jabodetabek) atau pun bus penumpang umum. Tentu saja, sebelum itu kami sudah diberitahu rute dan cara menaiki kereta atau pun bus, sehingga tidak salah naik menuju tempat yang perlu kami datangi.
Satu hal lagi, sebelum berangkat panitia juga sudah berpesan bila memungkinkan agar membawa makanan tradisional negara masing-masing untuk dipertukarkan nanti di Baku, Azerbaijan. Kami juga diminta membawa cinderamata, untuk dibagi-bagikan kepada sesama relawan maupun peserta WSYF dan WSC.
Mengenai makanan tradisional, dibantu istri saya membeli beberapa makanan tradisional yang tahan lama. Saya juga membawa beberapa minuman, seperti teh khas Indonesia dalam bentuk daun-daun teh, serta bubuk jahe untuk dibuat minuman hangat.
Untuk cinderamata, saya telah mempunyai tas-tas kecil untuk menyimpan telepon seluler yang dibuat dari kain batik. Saya membelinya ketika berada di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Tapi hanya itu, yang membuat saya berpikir cinderamata apalagi yang bisa saya bawa?
Saya kemudian mencoba menghubungi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kebetulan saya mengenal Kepala Disparbud, Dr. Tinia Budiati, yang merupakan teman seangkatan sewaktu kami sama-sama kuliah di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia.
Untunglah ada bantuan dari Disparbud DKI Jakarta. Selama tiga minggu di Azerbaijan, saya mempunyai cinderamata yang bisa saya bagi-bagikan, dan hampir semua yang menerima cinderamata saya selalu bertanya lebih jauh tentang Jakarta dan Indonesia. Paling tidak, saya ikut mempromosikan kota Jakarta di luar negeri.
Uniknya, ketika saya bagikan flash disk berbentuk bajaj, relawan dari Mesir langsung menyebutnya "Tuktuk", nama kendaraan sejenis di Thailand. Sedangkan relawan dari Bangladesh, berkomentar, "I'm familiar with this vechile" (saya sangat mengenal kendaraan ini).