Ada yang terlewatkan pada 20 Februari 2017 lalu. Mungkin tidak banyak yang ingat atau tahu, tapi tanggal itu merupakan tanggal bersejarah di Republik Indonesia (RI) ini, karena tepat 50 tahun dimulainya Orde Baru. Setelah gonjang-ganjing kondisi Republik Indonesia sejak tragedi 30 September malam atau 1 Oktober 1965 dinihari, saat terbunuhnya para perwira tinggi dan menengah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang kini bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Merekalah para Pahlawan Revolusi yang kita kenang jasa dan pengorbanannya selama-lamanya.
Berlanjut kepada aksi penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI), harga-harga meroket, inflasi tak terkendali. Situasi geger politik yang berimbas pada kekacauan ekonomi dan hampir seluruh sendi kehidupan bangsa Indonesia. Lalu munculnya Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 11 Maret 1966 yang menugaskan Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu. Surat Perintah yang belakangan dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar), karena ditandatangani pada 11 Maret 1966.
Tiga bulan setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia mengadakan Sidang Umum di Istora Senayan Jakarta, dari 21 Juni sampai 5 Juli 1966. Sidang Umum tersebut menghasilkan 24 ketetapan. Salah satunya adalah Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia.
Ketetapan MPRS itulah yang kelak menjadi penanda penggantian kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS mengumumkan bahwa terhitung 20 Februari 1967, dia menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengembang Ketetapan MPRS tadi, yaitu Jenderal Soeharto.
Suatu hal yang kemudian diperkuat dengan ketetapan-ketetapan hasil Sidang Istimewa (SI)MPRS di Jakarta pada 7 sampai 12 Maret 1967. Dari 26 Ketetapan SI MPRS tersebut, di antaranya mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno, lalu menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945, dan mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Maka pada akhir SI MPRS pada 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah menjadi Pejabat Presiden RI oleh Ketua MPRS, Jenderal Abdul Haris Nasution.
Informasi mengenai penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto pada 20 Februari 1967 sebagaimana antara lain dimuat di Harian Kompas tertanggal 23 Februari 1967, membuktikan bahwa sebelum SI MPRS pada Maret 1967, hampir sebulan sebelumnya Presiden Soekarno telah menyerahkan kekuasaannya pada Jenderal Soeharto.
Terlepas apakah Soekarno terpaksa atau dipaksa menyerahkan kekuasaan itu, hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum SI MPRS pun, Soekarno sudah mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI. Hal ini perlu dipertegas karena ada kesan selama ini, Soekarno mundur setelah dia “dijatuhkan” atau dilengserkan dalam SI MPRS 1967.
Kenyataannya, Soekarno sudah mundur terlebih dulu, pada 20 Februari 1967 yang dapat dianggap sebagai berakhirnya Orde Lama dan dimulainya Orde Baru dalam periodisasi sejarah nasional Indonesia. Orde Baru yang bertahan sampai 32 tahun, sebelum tumbang oleh gerakan reformasi yang dimotori mahasiswa dan kaum muda pada Mei 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H