Tidak Betah
Sepinya museum di Indonesia memang patut dipertanyakan. Bila dilihat dari harga tiket masuk, museum-museum di Indonesia terutama yang milik pemerintah, harga tiket masuknya umumnya terbilang amat murah. Memang, ada beberapa museum swasta yang harga tiket masuknya cukup mahal. Tapi anehnya, justru yang tiketnya mahal dari pengamatan, pengunjungnya lebih banyak. Sementara yang tiketnya murah, jarang dikunjungi.
Kedua, suasana atau sering disebut juga “aura” museum harus membawa orang yang datang ke dalamnya, menjadi tenang, aman, dan berbahagia. Seperti ketika kecil kita yang biasa tinggal di perkotaan lalu berlibur pergi ke rumah kakek dan nenek di desa, disambut gembira dan bisa merasakan suasana pedesaan yang asri, tenang, penuh kehijauan, berbeda dengan suasana kota yang penuh polusi dan macet di mana-mana.
Ketiga, bisa jadi juga memang benar yang dikatakan Dirjenbud Dr. Hilmar Farid. Museum merupakan tempat yang menggambarkan kemajemukan, seperti di MNI misalnya. Banyak koleksi yang menggambarkan dua atau lebih agama, suku, dan ras, menyatu menghasilkan sesuatu yang indah. Manakala orang menjadi sektarian atau lebih senang bergabung dengan kelompoknya saja, maka keberadaan museum terasa aneh dan mengusik ketenangan orang tersebut. Cara terbaik bagi orang seperti itu adalah menghindari museum.
Harus Ada “Kasus”?
Di luar itu, yang tampaknya patut dicatat, khususnya dari pernyataan SBY dan Denny Siregar, adalah kesan bahwa museum itu semacam gudang untuk menyimpan sesuatu atau menyingkirkan barang yang saat ini dianggap sudah tak perlu, tetapi masih merasa sayang untuk dibuang. Menyimpan “kesantunan” dan menyingkirkan “budaya kita” ke dalam museum.
Museum tidak hanya menyimpan. Setelah dikumpulkan, dilestarikan, dan diteliti, benda-benda yang ada di dalam museum, kembali dikomunikasikan kepada masyarakat, antara lain lewat pameran-pameran dan publikasi koleksi museum. Bisa publikasi secara konvensional, dan tentu saja pada masa kini yang juga dianjurkan adalah publikasi koleksi museum dengan kekinian, sepeerti misalnya menggunakan berbagai piranti lunak yang dihubungkan dengan akses internet.
Sayangnya, publikasi tentang museum pun masih kurang diminati. Pengalaman beberapa teman yang menulis tentang museum di Kompasiana misalnya, jumlah pembacanya terbatas. Walau pun telah dijadikan tulisan “Pilihan” dan bahkan “Headline”, untuk menembus angka 1.000 kali dibaca saja sangat sulit.
Agaknya dari pengamatan, yang sukses meraih banyak pembaca adalah tulisan tentang museum kalau dikaitkan dengan “kasus”, seperti tulisan berjudul “Berita Bohong, Tak Ada Pameran Budaya Arab di Museum Nasional” yang bisa dibaca di sini. Cepat sekali mencapai angka hampir 19.000 kali dibaca.
Lalu, apakah harus ada “kasus” dulu baru museum bisa ramai kembali?