Ketika bapak yang digadang-gadang penyair papan atas pun novelis terkenal lantas cuma bisa manfaatkan ketenaran dengan menghina karya sesama seniman, menuduh seenaknya, menghukum sesukanya, hanya lantaran baris-baris lirik lagu yang menurut bapak tak berkesesuaian dengan keharusannya, maka apatah lagi yang dapat diucap bila ternyata penyair dan novelis pun tak mengerti atau tak mau mengerti arti kiasan, tak paham atau tak mau paham, bahwa lirik lagu penuh perlambang dan bukan harus dibaca dan dimengerti kata per kata.
Ketika bapak yang dianggap hebat dalam dunia sastra lantas hanya dapat menyindir dan menyudutkan karya seni lainnya, lupakah tentang metafora, perlambang, dan berbagai ini-itu dunia seni, yang tak serta merta harus dibaca, didengar, dan diartikan apa adanya.
Maka apakah bedanya "bagimu negeri jiwa raga kami" yang kau anggap tak sesuai dengan keharusan bahwa jiwa raga haruslah untuk TUHAN dan hanya bagi Sang Pencipta itulah jiwa dan raga, dengan "bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat" yang bisa saja dan mungkin -- sekali lagi bisa saja dan mungkin – ada juga anggap kenapa lagi mempertanyakan yang telah digariskan TUHAN.
Seharusnya memang tidak. Tidak memang seharusnya.
Lirik lagu, baris puisi, bukanlah harus serta merta diartikan sebagaimana apa adanya, karena dia penuh perlambang, penuh metafora, penuh kiasan, dan segalanya yang bisa berarti banyak, bisa berarti sedikit, bisa juga berarti gabungan.
Saat seorang komponis menyusun lirik dan lagu, saat penyair menulis kata dan kalimat, pun begitu seorang novelis, atau juga seorang pelukis menggores kuas di kanvas, tentulah bukan selalu hasilnya apa adanya, dan yang bukan apa adanya berarti bertentangan.
Bukan memang tidak selamanya begitu. Begitu selamanya tidak memang bukan.
Komponis, penyair, novelis, dan setiap insan, punya makna, punya sumbangsih untuk negeri ini, janganlah saling bertikai dan tak perlu saling menghina karya yang lain. Tulislah, gambarlah, lagukanlah bersama-sama, dalam keberagaman yang indah, dan saling menghormati satu sama lain, mewujud dalam cinta, kasih, pujian kepada Sang Pencipta, dan karya untuk sesama.
Begitu seharusnya. Seharusnya begitu.
(Salam hormatku untukmu bapak penyair dan sastrawan terkemuka, sama seperti salam hormatku untuk semua seniman yang telah memberikan karyanya bagi kebangunan bangsa, bagi kejayaan negeri, Indonesia yang kita cintai bersama, selalu, senantiasa, selamanya).
Bintaro Sektor IX, tengah malam jelang 29 Januari 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H