Apakah yang menyedihkan dari korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga? Seringkali korban menyerah dan memilih untuk tidak meneruskan kasus dan laporannya. Tidak adanya pendampingan, perlu biaya tak sedikit, sementara suasana hati tak menentu, membuat korban menjadi semakin malu dan memilih hidup “di sudut gelap yang terpencil”, supaya tak dilihat dan dibicarakan orang.
Ini juga yang menyebabkan korban seringkali tak mau diajak datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian maupun ke Pelayanan Perempuan dan Anak pada kantor kepolisian terdekat. Korban tak tahan melihat pandangan mata orang-orang yang sebagian kasihan, sebagian lagi mempertanyakan, kehadiran mereka di ruang yang memang untuk menangani perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun psikis. Apalagi ketika keluar dari ruangan itu, makin banyak mata yang memandang. Rasanya ingin lari dan bersembunyi saja.
Pengalaman seperti ini menimpa beberapa korban kekerasan. Selain itu, masih ada “gap” dalam layanan penanganan kekerasan. Kebanyakan hanya pada aspek legalnya saja. Belum lagi, kalau pelakunya adalah bagian dari keluarga sendiri. Tak jarang pula, korban akhirnya tak diperhatikan keluarganya sendiri.
Merasa tak berdaya, korban kekerasan sering menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan yang lebih sadis, sang korban akhirnya dapat pula menjadi pelaku kekerasan. Bisa jadi untuk mengatasi perasaan tak berdayanya, dia memilih orang yang lebih lemah dari dirinya, dan orang lemah itu yang dijadikan korban. Contohnya, istri yang menjadi korban kekerasan suami, bukan tak mungkin akan menjadi pelaku kekerasan kepada anaknya sendiri, yang dianggap lebih lemah dari dirinya. Apalagi kalau usia sang anak masih kecil.
Jelas bahwa dampaknya akhirnya mempengaruhi seluruh keluarga juga. Bukan hanya keluarga inti, tetapi juga keluarga besar dari korban dan pelaku kekerasan itu. Tumpuk-menumpuk kekecewaan, rasa marah, dan berbagai hal negatif lainnya, tak jarang membuat keluarga menjadi terpecah belah. Bila ini sudah terjadi, maka dimulai dari keluarga yang berantakan, dapat terus berdampak pada harmonisasi lingkungan sekitar. Antarpenghuni dan antarkeluarga dalam satu komplek perumahan, akhirnya terpecah belah pula.
Bila terus dibiarkan dan tak ditangani, tinggal menunggu waktu, masyarakat menjadi saling membenci dan kemudian sesama anakbangsa bakal terlibat perang saudara. Jelas ini skenario yang paling tidak kita kehendaki, apalagi kalau ada pihak-pihak luar yang justru memanfaatkan, menyebabkan Indonesia menjadi terpecah dan mudah dikuasai bangsa asing.
Jadi jelas, untuk menghancurkan suatu bangsa dan negara, sebenarnya tak perlu perang dalam arti fisik. Cukup membiarkan korban-korban kekerasan tak tertangani, lalu membiarkan pula semakin banyaknya terjadi kekerasan – terutama kepada perempuan dan anak-anak – dan ini akan menyebar cepat. Bagaikan sekam terkena percikan api, akan terus membesar dan membahayakan seluruh bangsa dan negara kita.
Sebagaimana namanya “Three Ends”, program itu memang berusaha mengakhiri tiga hal yang semakin mencemaskan keadaannya. Ketiga hal itu adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia, dan ketidakadilan akses pada kaum perempuan. Bila diperhatikan, sebenarnya saling terkait antara satu hal dengan lainnya.
Satu hal penting yang patut ditumbuhkembangkan di kalangan seluruh lapisan masyarakat adalah sikap aware yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “sadar” atau “mengetahui”. Tepatnya mengetahui dan sadar, karena kalau hanya mengetahui saja tanpa disertai kesadaran, maka akan percuma saja.
Masih ingat kasus menyedihkan yang menimpa Angeline atau Engeline, seorang anak perempuan yang dibunuh di Bali sekitar dua tahun lalu? Konon kabarnya, beberapa orang termasuk guru di sekolahnya, sudah melihat Engeline kurang terurus, dengan pakaian kumal dan ada sejumlah tanda atau bekas kekerasan fisik di tubuhnya. Namun rupanya, entah mengapa, hal itu tak terlalu diperhatikan. Sampai akhirnya kejadian mengenaskan menimpa diri sang bocah perempuan. Dia tewas dibunuh.