Kasus tarif sewa yang 'kelewatan tingginya' pada Odong-odong di Alun-alun Kidul (Alkid) Yogyakarta (atau 'Jogjakarta' kalau ditulis oleh orang Yogya sendiri) beberapa waktu lalu, menjadi viral yang mengemuka di media sosial. Saling tuding, saling bantah, bahkan sampai ada yang membuat meme-nya.
Masalahnya terjadi ketika wisatawan yang datang untuk menyambut Tahun Baru 2017 di Kota Gudeg itu ditembak dengan tarif sewa odong-odong yang amat mahal. Sekali putaran mengitari Alun-alun kota tersebut, diminta membayar Rp 150.000. Suatu tarif yang amat mahal, bukan hanya untuk ukuran Yogyakarta, tetapi juga untuk ukuran kota-kota lainnya.
Memang, odong-odong di Yogyakarta cukup unik. Kendaraan kayuh dibentuk seperti mobil, diberi hiasan dan lampu kelap-kelip warna-warni. Tetapi odong-odong semacam itu sekarang bukan hanya bisa ditemui di kota itu saja. Di Jawa Tengah misalnya, di Solo, Semarang, bahkan Salatiga dan Tegal pun, odong-odong serupa bisa dijumpai.
Tapi jelas harga Rp 150.000 memang amat mahal, bahkan kalau pun boleh menggunakan odong-odong itu untuk dua kali putaran. Berarti sekali putaran senilai Rp 75.000. Bandingkan dengan naik kereta gantung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, yang tiketnya hanya Rp 40.000. Bahkan naik monorail di TMII tiketnya hanya Rp 10.000 per orang.
Harga yang serupa juga ditetapkan untuk naik kereta gantung yang dikenal dengan gondola di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Untuk hari-hari kerja tiketnya seharga Rp 30.000, sedangkan untuk akhir pekan dan hari libur, tiketnya senilai Rp 40.000.
Warga Jadi Rugi
Setelah dipatok dengan harga selangit, odong-odong Alkid itu meluas dibahas. Ada yang mencoba memberikan alasan. Dikatakannya, saat akhir tahun dan awal tahun baru, Yogyakarta menjadi penuh sesak dengan wisatawan. Akibatnya di mana-mana terjadi kemacetan, tak terkecuali di kawasan Alkid.
Ini, demikian yang memberikan alasan, berimbas pada laju kendaraan odong-odong. Kalau saat tidak macet, dalam satu atau dua jam sudah dapat disewa beberapa orang yang dapat melaju dengan cukup cepat, maka saat macet sewanya menjadi berkurang.
Namun, kemacetan semacam itu bukan hanya di saat akhir dan awal tahun. Pada musim liburan, bahkan seperti ketika penulis ke sana pada sekitar bulan April, di malam Minggu biasanya memang kawasan Alkid lumayan padat pengunjung. Jadi, kalau alasan “macet”, sebenarnya bukan baru sekarang.
Bila tarifnya Rp 40.000 atau Rp 50.000 – walaupun itu juga relatif mahal – tetapi masih cukup masuk akal. Namun kalau tiga kali lipat mencapai Rp 150.000, tentu mengagetkan banyak orang. Hal ini bukan saja berimbas atau membuat penyewa yang harus membayar mahal menjadi kecewa. Tetapi karena disiarkan melalui media sosial, maka kasusnya menjadi melebar.
Imbas atau dampaknya bisa-bisa membuat pengunjung berpikir dua kali untuk menyewa odong-odong di Alkid. Apalagi sekarang bukan hanya di Yogyakarta, di Solo yang jaraknya cuma sejam perjalanan mobil juga ada. Demikian pula di kota-kota lain.
Bisa saja ada yang mengatakan, bahwa itu hanya hal kecil saja. Hanya satu-dua orang yang berlaku seperti itu. Tapi kalau gara-gara satu atau dua orang yang 'menggetok' harga sewa odong-odong di Alkid, akhirnya banyak pengunjung jadi tak mau lagi datang dan menyewa odong-odong di sana, maka yang rugi akhirnya banyak pihak. Bukan hanya pemilik odong-odong, tetapi juga mereka yang bekerja di lapangan menyewakan odong-odong, petugas parkir yang memarkir kendaraan pengunjung, tukang makanan dan minuman, dan banyak lagi.
Pada gilirannya, justru warga setempat yang menjadi rugi. Rugi materi karena pengunjung berkurang, dan rugi bisa-bisa kehilangan nama baik, karena siapa tahu ada saja yang bilang, “Jangan ke sana, nanti digetok harganya”.
Perlu Didorong
Tampaknya, di sini perlu peran Pemerintah setempat, khususnya Dinas Pariwisata dan pihak-pihak terkait lainnya untuk memasyarakatkan konsep “Sadar Wisata”. Suatu konsep yang menggambarkan partisipasi dan dukungan segenap komponen masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan di suatu wilayah dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana namanya: sapta, ada tujuh unsur yang perlu dilakukan untuk meningkatkan potensi pariwisata di tempat masing-masing, yaitu aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Disebut terakhir, 'kenangan' bukan berarti paling tak penting. Justru kenangan itulah yang menjadi daya tarik untuk wisatawan-wisatawan lain datang ke tempat tersebut.
Bila wisatawan mendapatkan kesan dan kenangan buruk atas satu objek atau destinasi wisata, lalu dia menyebarluaskan kenangan buruk itu – apalagi di era media sosial yang amat mudah dilakukan siapa saja saat ini – tentu berakibat kurang baik bagi objek atau destinasi wisata tersebut.
Bisa saja ditetapkan bahwa hanya odong-odong yang berlisensi – misalnya dari Dinas Pariwisata – yang boleh menjalankan aktivitasnya di sana. Sebelum diberikan lisensi, sebaiknya dilakukan dulu penataran “Sadar Wisata” dan sekaligus “Sapta Pesona” kepada mereka.
Dunia usaha wisata yang besar dapat diminta membantu penataran dan pemberian lisensi itu, misalnya dengan kompensasi dimuat logo perusahaannya pada odong-odong atau rompi dan kaus petugas pelayanan odong-odong itu. Dapat juga dengan menyediakan kotak kecil dalam tiap odong-odong, di mana perusahaan-perusahaan wisata atau lainnya dapat memasukkan brosur yang kemudian bisa diambil oleh pengunjung yang menyewa dan menaiki odong-odong itu.
Jadi seperti lirik lagu Yogyakarta dari KLA Project, “.... nikmati bersama, suasana Jogja...”, semoga wisatawan tetap dapat menikmati suasana Yogyakarta sambil antara lain naik odong-odong di Alkid yang menimbulkan kesan dan kenangan indah tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H