Hari Selasa, 13 Desember 2016, genaplah usia saya mencapai 57 tahun. Dilahirkan pada tanggal yang sama pada 1959 di Rumah Sakit Sint Carolus, Jakarta, ucapan selamat yang terus berdatangan melalui berbagai jenis media sosial, umumnya memanggil saya dengan “Brother”, “Kapten”, “Admiral”, “Kak”, dan “Oom”.
Mereka yang menyapa saya dengan “Brother” adalah teman-teman Pandu dari luar negeri, dan “Kak” datang dari teman-teman Pramuka di dalam negeri. Aktif di gerakan pendidikan kepanduan yang di Indonesia dikenal dengan nama Gerakan Pramuka sejak 1968, saya memang berusaha terus-menerus mengobarkan semangat persaudaraan universal antarPandu dan antarPramuka, tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan.
Di dalam negeri, keaktifan saya antara lain menyebabkan saya sejak 1995 sampai 2013 menjadi salah satu pengurus di tingkat nasional yaitu Kwartir Nasional, dan kini pun masih aktif sebagai anggota Korps Pelatih Kwartir Cabang Jakarta Timur. Sebagai informasi tambahan bagi yang belum mengetahuinya, kwartir cabang adalah sebutan untuk organisasi Gerakan Pramuka yang berada di wilayah kabupaten atau kotamadya.
Di luar negeri pun, sejak 1995 sampai sekarang saya aktif. Berkali-kali menjadi anggota Subkomite Kepanduan Asia-Pasifik, dan sejak 1995 sampai 2015 selalu berperan menjadi koresponden kehormatan (Honorary Correspondent) untuk berita-berita kepanduan di kawasan Asia-Pasifik, sampai saat ini pun saya masih tercatat sebagai salah satu anggota Panel Spesialis Kepanduan Asia-Pasifik. Panel Spesialis adalah kumpulan orang dewasa dalam gerakan kepanduan yang mempunyai spesialisasi keahlian tertentu dan siap menjadi relawan untuk membagikan pengetahuannya kepada sesama Pandu di kawasan Asia-Pasifik. Saya sendiri terpilih menjadi anggota Panel Spesialis itu untuk keahlian di bidang jurnalistik, komunikasi, dan marketing.
Bermain Peran
Selain aktif di gerakan pendidikan kepanduan, saya juga sejak lama telah menggemari kisah Petualangan Tintin (The Adventures of Tintin) dan kisah fiksi ilmiah Star Trek. Kisah Tintin karya komikus asal Belgia, Herge, telah saya kenal sejak 1960-an. Pertama kali saya tahu komik itu dalam Bahasa Belanda. Tintin disebut Kuifje.
Tentu saat kecil, saya belum mengerti Bahasa Belanda. Jadi ayah atau ibu saya yang membacakan dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia kepada saya. Barulah ketika kisah Petualangan Tintin diterjemahkan secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh PT Indira pada sekitar paro pertama 1970-an, saya dapat langsung membacanya.
Meski pun belakangan saya mengembangkan karier seperti Tintin sebagai seorang reporter media cetak, tetapi Kapten Haddock lebih terasa mengena pada diri saya. Bukan, bukan soal marah-marahnya, tetapi saya melihat ini adalah tokoh yang sangat manusiawi. Terkesan galak, terkesan kasar, tetapi kegalakan dan kekasarannya hanya pada mereka yang jahat, mereka yang berbuat tidak baik.
Sebaliknya, kepada sahabatnya Tintin, dia benar-benar seorang sahabat sejati. Saat dalam salah satu kisah ketika Tintin dan Kapten Haddock sedang mendaki Gunung Himalaya, sang kapten bahkan rela memotong tali pendakiannya yang bisa menyebabkan dirinya jatuh dan meninggal, hanya untuk menolong agar jangan Tintin yang jatuh ke jurang. Kapten Haddock juga selalu membela kebenaran, meski dengan caranya sendiri yang tidak lazim dilakukan orang banyak. Pada intinya, dialah tokoh manusiawi dalam kisah Petualangan Tintin, dan sebagaimana manusia pada umumnya kadang marah, kadang kasar, tetapi tidak melupakan sifat-sifat kemanusiaannya.