Sebenarnya, dalam pembahasan yang saya ikuti dengan teman-teman gerakan kepanduan yang berasal dari berbagai negara di sejumlah kesempatan pada kurun 1990-an dan awal 2000-an, yang tak kalah pentingnya adalah mendudukkan mereka yang berusia muda untuk membina langsung peserta didik di lapangan atau di pangkalan tempat para Pandu/Pramuka itu berlatih. Katakanlah untuk golongan Siaga (7-10 tahun), Penggalang (11-15 tahun), Penegak (16-20 tahun), dan Pandega (21-25 tahun), sebaiknya tidak dibina langsung oleh Pembina yang telah berusia di atas 60 atau 70 tahun. Begitu salah satu hasil bahasan yang masih saya catat.
Alasannya, untuk latihan di lapangan, apalagi menghadapi anak-anak Pramuka Siaga dan Penggalang, yang masih sangat aktif berlari ke sana ke mari, agak sulit bagi Pembina-Pembina usia tua mengikuti irama gerak anak-anak itu. Bahkan untuk yang lebih dewasa, Pramuka Penegak dan Pandega, mengadakan perjalanan petualangan menempuh rimba, naik gunung, dan sebagainya, tentu perlu pula ketahanan fisik yang cukup kuat.
Memang bukan berarti Pembina yang telah berusia cukup tua, ketahanan fisiknya berkurang. Bila dia tetap rajin berolahraga dan melakukan aktivitas fisik, pasti ketahanan tubuhnya tetap kuat. Tetapi tidak semua begitu. Belum lagi, kadangkala – seperti juga telah diutarakan – semakin tua kita, semakin susah kita beradaptasi dengan keinginan dan kebutuhan orang yang usianya jauh di bawah kita.
Lalu, ke mana para Pembina Pandu/Pramuka yang telah berusia cukup tua? Tentu bukan berarti mereka harus berhenti dari aktivitas membina. “Jangan buang para Pembina yang telah berjasa banyak, hanya karena mereka telah mulai uzur,” tutur seorang Pembina Pramuka beberapa waktu lalu. Mungkin bila di Indonesia, mereka dapat menjadi Ketua Gugus depan atau anggota Majelis Pembimbing, atau bila di Kwartir, bisa juga ditempatkan di posisi yang tak perlu terlalu banyak ke lapangan lagi, tetapi semacam think tank atau kelompok pemikir yang mengolah dan menganalisis data untuk kemajuan gerakan kepanduan.
Walaupun masih ada lagi kekhawatiran, jangan-jangan terlalu terbuai oleh pengalaman di masa lalu, sehingga hanya merujuk kepada kondisi masa lalu, tanpa sadar bahwa zaman telah berubah cepat. Untuk mengatasinya, mereka harus terus-menerus mau melakukan upgrading pengetahuan dan wawasannya dengan isu-isu kekinian.
Di luar itu, mengenai pemikiran bahwa pimpinan organisasi kepanduan sebaiknya diisi oleh orang-orang muda, tentu tidak berarti pula bahwa semua pimpinannya harus anak muda. Biar bagaimana pun, pengalaman dan kebijakan kaum tua tetap dibutuhkan dalam mengelola kepengurusan gerakan kepanduan. Khusus di Indonesia sendiri, sebenarnya sekarang cukup banyak yang berusia tak terlalu tua, menjadi pimpinan organisasi. Ketua Kwarnas saat ini, Adhyaksa Dault, berusia 53 tahun. Contoh lain, Ketua Kwartir Daerah Jawa Barat, Dede Yusuf, berusia 50 tahun. Di Indonesia, usia seperti mereka masih terhitung tak terlalu tua, bila dilihat dari sejarah Gerakan Pramuka, yang umumnya dipimpin oleh mereka yang telah berusia di atas usia pensiun saat itu, yaitu di atas 55 tahun.
Sewaktu membahas hal ini beberapa tahun lalu, sempat pula dimunculkan ide, “Pimpinan organisasi kepanduan kan sifatnya kolegial, artinya tidak hanya satu orang. Bisa terdiri dari ketua dan beberapa wakil ketua. Jadi kenapa tidak komposisinya dibuat berimbang, setengah dari golongan tua, setengah lagi diisi oleh kaum muda yang berprestasi,” tutur seorang teman.
Kata kuncinya memang “berprestasi”. Jangan karena keinginan memilih pimpinan kaum muda, sampai akhirnya sembarang memilih. Seperti contohnya Ahmad Alhendawi, meski baru berusia 32 tahun tetapi telah berpengalaman dan berprestasi bukan hanya di negerinya di Yordania, tetapi juga meluas ke berbagai negara. Dan untuk memilih yang berprestasi, bila memang mau, sebenarnya tak terlalu sulit. Di banyak negara, organisasi kepanduan telah memiliki yang di Indonesia dikenal dengan nama Dewan Kerja. Ini adalah kepengurusan yang terdiri dari Pramuka Penegak dan Pandega, di mana mereka belajar berorganisasi, belajar memimpin, dan kepengurusannya ada mulai dari Dewan Kerja Nasional di tingkat pusat sampai Dewan Kerja Ranting di tingkat kecamatan.
Bahkan di pangkalan gugusdepan, juga ada kepengurusan semacam itu untuk Ambalan Penegak dan Racana Pandega. Bila pengkaderan ini berjalan baik, sebenarnya tak terlalu sulit untuk mencari mereka yang berprestasi, yang kelak dapat menjadi pimpinan organiasi kepanduan di negara masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H