"Sejarah adalah milik pemenang."
Begitu ungkapan yang sering ditulis atau diucapkan terkait dengan buku dan kisah sejarah. Maksudnya, kisah-kisah sejarah akan lebih banyak ditulis berdasarkan siapa pemenang dalam suatu pertempuran, perang, atau pun pemilihan yang terkait dengan jabatan politis. Kisah dan buku sejarah akan dilihat dari sudut pandang Sang Pemenang atau Sang Penguasa.
Bagi mereka yang pernah memiliki buku Sejarah Nasional Indonesia, sebuah buku yang terdiri dari 6 jilid dan berisi kisah perjalanan sejarah bangsa dan negara Indonesia sejak zaman prasejarah sampai masa modern, tentu masih ingat bahwa foto salah satu jilid buku itu menampilkan pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih saat peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta.
Walaupun peristiwa itu terjadi di rumah Ir. Soekarno atau Bung Karno dan proklamator Kemerdekaan RI adalah Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi dalam foto pengibaran bendera itu tak tampak sosok Bung Karno. Bagaimana mungkin? Padahal dalam foto aslinya karya Mendur bersaudara (dua fotografer yang banyak mengabadikan peristiwa bersejarah di seputar Proklamasi Kemerdekaan RI) jelas tampak sosok Bung Karno di posisi paling kiri.
Hebatnya, dalam buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, foto itu di-cropping. Gambar Bung Karno dihilangkan, jadi pada foto bersejarah itu yang menjadi sampul buku sejarah tadi, tak ada lagi sosok Bung Karno. Latar belakangnya sangat mudah ditebak, karena penguasa saat itu memang anti Bung Karno, dan barulah di masa-masa terakhir pemerintahannya, sosok Bung Karno 'dipulihkan' kembali.
Apalagi saat itu, yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Dr. Nugroho Notosutanto yang pernah dikenal tidak begitu menyukai Soekarno. Bahkan konon, Nugroho jugalah yang berusaha membedakan Pancasila yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni 1945 dengan Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Kisah sejarah adalah milik pemenang juga tampak pada kisah Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949. Selama berpuluh tahun di masa Orde Baru, selalu dituliskan dalam buku-buku sejarah maupun ditampilkan dalam film, bahwa penggagas SO 1 Maret 1949 adalah Letkol Soeharto yang kemudian menjadi Presiden RI. Tidak ada nama lain kecuali Soeharto yang patut dipuji jasanya.
Barulah setelah Reformasi 1998, pelan-pelan terkuat posisi seorang Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang ternyata memegang peranan sangat besar dalam aksi yang membuktikan bahwa Republik Indonesia yang walaupun saat itu masih dikepung tentara Belanda, ternyata masih ada. Bukan berarti Soeharto tak ada jasanya, tetapi banyak sejarawan yang kemudian menunjuk bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX itulah penggagas serangan sebenarnya. Sedangkan Letkol Soeharto adalah pelaksana lapangan yang sukses menjalankan serangan tadi.
'Jas Merah'
Saat ini tengah berlangsung Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Acara yang dihadiri para sejarawan seluruh Indonesia dan sejumlah pakar sejarah asing itu, diselenggarakan dari 7 sampai 10 November 2016. Ketika membuka KNS tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, antara lain mengatakan, rasa nasionalisme yang dikatakan banyak orang mulai menurun di kalangan anak bangsa, sedikit banyak karena masyarakat kurang memahami arti sejarah. Padahal, kakek Puan Maharani, yang tak lain dari Bung Karno, terkenal dengan ucapannya, “Jas Merah!” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Persoalannya, selain tidak melupakan sejarah, yang juga penting adalah menuliskan kisah sejarah yang sedapat mungkin objektif. Ini memang sulit, karena pernah disebutkan bahwa ilmu-ilmu sosial seperti sejarah tidak bisa bebas nilai. Artinya, dalam penulisan sejarah, pasti unsur subjektivitas sang penulis tetap ada.
Hanya saja, sesubjektif apapun seorang sejarawan yang menyusun tulisan sejarah, haruslah dihindari kecenderungan seperti di masa lalu, bahwa sejarah adalah milik pemenang. Sedapat mungkin, ditulis dari sedikitnya dua sisi. Sisi Sang Penguasa, dan kalau ada, sisi Sang Oposisi atau pihak lawan. Melalui cara itu, pembaca sejarah justru akan mendapatkan pemahaman yang lebih luas, daripada sekadar di-ninabobo-kan dengan kisah sejarah yang berisi semua hal positif dari sang penguasa.