Masalah mengenai Bapak Permuseuman Indonesia mengemuka kembali seusai berlangsungnya pembukaan “Pameran Tokoh Dokter Moewardi, Pengabdian Seorang Dokter Nasionalis” yang berlangsung di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta Pusat, Rabu, 20 Oktober 2016. Di antara para undangan yang hadir, terdapat cukup banyak penggiat permuseuman di Jakarta, baik yang masih aktif maupun sudah pension.
Begitulah, seusai pembukaan pameran tentang Dokter Moewardi, sang pejuang kemerdekaan yang juga merupakan tokoh kepanduan dan tokoh kedokteran Indonesia, para penggiat permuseuman itu berkumpul sambil berbincang-bincang santai. Salah satunya yang dipercakapkan adalah mengenai penghargaan Bapak Permuseuman Indonesia kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-4 RI. Media-media massa memang banyak yang mengutip hal itu, bahkan menjadikan bagian dari judulnya, yang mengemukakan SBY mendapatkan gelar atau dinobatkan sebagai Bapak Permuseuman Indonesia (baca juga ini: SBY Bapak Permuseuman Indonesia?).
Bagi para penggiat museum, tentu hal ini menjadi pertanyaan. Bukankah sudah umum dikenal di kalangan “dunia permuseuman” Indonesia seorang yang bernama Moh Amir Sutaarga. Seorang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk membangun dan mengembangkan permuseuman di Tanah Air. Tak heran bila dalam tulisan-tulisan para penggiat permuseuman, Amir Sutaarga sudah disebut sebagai Bapak Permuseuman Indonesia.
Memang, harus diakui belum ada penetapan resmi dari pihak Pemerintah tentang sebutan atau gelar Bapak Permuseuman Indonesia bagi Amir Sutaarga. Tetapi walaupun secara “de jure” belum ditetapkan, secara “de facto” kalangan permuseuman sudah menganggap Amir Sutaarga sebagai Bapak Permuseuman Indonesia.
Ketika diumumkan, sebagaimana dijelaskan pihak Komunitas Jelajah, penghargaan untuk SBY adalah sebagai “Tokoh Peduli Permuseuman 2016”. Namun oleh AMI, sebagaimana dikutip media-media massa, disebut sebagai Bapak Permuseuman Indonesia (baca juga ini: SBY Tokoh Peduli, Bukan Bapak Permuseuman).
Belakangan, pihak AMI melalui Ketua Umum AMI Pusat, Putu Supadma Rudana, dan salah satu pengurusnya, Waluyono, mengoreksi dan memberikan klarfikasi secara lisan. AMI mengakui penuh keberadaan dan jasa-jasa Amir Sutaarga dan menganggap layak dijadikan Bapak Museum Indonesia. Sementara untuk SBY, seperti dikatakan Ketua Umum AMI Pusat, penghargaannya adalah sebagai Bapak Permuseuman Indonesia 2016.
Jadi di belakang kalimat “Bapak Permuseuman Indonesia” ada angka tahunnya, yaitu 2016. Ketika dikonfirmasi ulang, Putu mengatakan mungkin media salah mengutip, sehingga terlupa menambahkan menulis angka tahun di belakang penghargaan itu. Putu juga mengatakan, bahwa rencananya penghargaan Bapak Permuseuman Indonesia akan diberikan secara rutin tiap dua tahun sekali. Kalau Bapak Permuseuman Indonesia 2016 diberikan kepada SBY, bukan tidak mungkin Presiden ke-2 RI, Soeharto, akan memperoleh penghargaan Bapak Permuseuman Indonesia 2018. Walaupun tentu saja masih akan dikaji bersama oleh organisasinya, maupun dengan menemui ahli warisnya dulu (baca di sini: AMI Sepakat Bapak Museum Indonesia adalah Amir Sutaarga).
Apa pun pandangan orang, tetapi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto memang banyak dibangun dan dikembangkan museum-museum di Tanah Air. Lalu bagaimana dengan tokoh lainnya, seperti misalnya Ali Sadikin? Ketika yang bersangkutan menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, cukup besar perannya mengembangkan permuseuman di ibu kota RI. Museum Sejarah Jakarta atau dikenal juga dengan nama Museum Fatahillah yang terletak di Kotatua Jakarta, dibangun dan diresmikan oleh Ali Sadikin. Gedung Joang ’45 yang diresmikan Presiden Soeharto pada 1974, juga tak lepas dari jasa Ali Sadikin untuk mengembalikan bentuk gedungnya. Demikian pula Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. Sebelum diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974, bangunan museum yang pernah digunakan sebagai tempat pelaksanaan Kongres Pemuda ke-2 yang menghasilkan “Sumpah Pemuda” itu sempat dipugar atas instruksi Ali Sadikin.
Masih banyak lagi jasa Ali Sadikin dalam pengembangan permuseuman di Jakarta. Walaupun terbatas di Jakarta karena wilayah pemerintahannya memang hanya di Jakarta, namun jasa Ali Sadikin tak dapat dilupakan saja.