“Saya tinggal di selatan Jakarta di suatu komplek perumahan yang tetangga saya adalah orang Batak dan agamanya bukan Islam. Tetapi justru itulah tugas yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya. Apakah kita bisa hidup damai dengan tetangga atau komunitas yang berlainan suku dan berlainan agama atau tidak?” Ucapan ini datang dari Profesor Din Syamsuddin, tokoh ilmuwan agama yang saat ini adalah Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia.
Dilanjutkan oleh Din Syamsuddin, “Jadi kalau ada orang yang ingin eksklusif hidup hanya dengan kelompok yang sama dengannya, dan meminta orang lain yang tidak sama latar belakangnya untuk ke luar dari lingkungan itu, sebenarnya itu adalah bukti kegagalan menjalankan tugas dan amanat Tuhan”.
Penegasan itu disampaikan Din Syamsuddin saat menjadi pembicara pada simposium bertajuk “Cultural Diversity for Responsible Development” (Keberagaman Budaya untuk Pembangunan yang Bertanggung Jawab) yang diadakan di Nusa Dua Convention Centre, Bali, pada Rabu, 12 Oktober 2016.
Dibuka dengan penampilan tarian Mandau Giring-giring dari Kalimantan Tengah, simposium ini merupakan satu dari tiga simposium yang diadakan pada waktu bersamaan di ruang lainnya. Simposium lainnya bertajuk 'Culture in the New Digital World”' (Kebudayaan dalam Dunia Digital Baru) yang menampilkan pembicara Luisella Mazza (Pimpinan Operasi Institut Budaya Google), Jill Cousins (Direktur Eksekutif Europeana), Ahn Kwang-Han (Presiden dan CEO MBC Korea), dan Belva Devara (Pendiri dan CEO Ruangguru.com).
Satu simposium lainnya adalah 'Reconciling State, Community, and Cultural Divides' (Merekonsiliasi Negara, Masyarakat, dan Kebudayaan yang Terpecah). Simposium ini menampilkan pembicara Celio Turino (Culture Points Brazil), Kuan-Hsing Chen (Profesor dari Universitas Nasional Chiao Tung,Taiwan), Nani Zulminarni (pendiri PEKKA dan pakar studi jender).
Saat menyampaikan pandangannya, Din Syamsuddin juga menekankan perlu dikembangkannya budaya berbagi. Dikatakannya, budaya berbagi adalah sikap aktif yang harus dikembangkan dalam kehidupan penuh keberagaman dewasa ini. Jadi semua masyarakat harus memelihara sikap saling mengerti, saling menghargai, dan bahkan bekerja sama satu sama lain.
Berbagi dalam banyak hal, mulai dari berbagi ilmu, berbagi ruang, berbagi sumber daya, dan mengembangkan toleransi dan sebaiknya jangan menyentuh hal-hal yang sensitif, yang dapat mengganggu keberagaman hidup bersama.
Menariknya, Prof. Moncel Ben Abdeljalil dari Tunisia justru menunjuk pada Pancasila sebagai contoh bagaimana mengembangkan pluralisme dan upaya saling menghargai perbedaan budaya. Dikatakannya, butir-butir dalam Pancasila, justru menjadi penting dan harus menjadi acuan untuk mengembangkan sikap saling toleransi antara mereka yang berbeda latar belakang, untuk saling menghormati satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H