Termasuk satu dari 100 peserta publik Indonesia yang terpilih mengikuti World Culture Forum (WCF) 2016 di Bali Nusa Dua Convention Centre, 10-14 Oktober 2016, saya pun berangkat ke Bali dari Jakarta pada Senin pagi, 10 Oktober 2016. Selain 100 peserta publik Indonesia, ada juga 100 terpilih peserta publik internasional. Di samping itu ada peserta undangan Indonesia dan peserta undangan internasional.
Esai-esai yang masuk dinilai oleh suatu tim yang dibentuk Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan untuk 100 peserta yang nilainya paling tinggi dipilih ikut serta.
Untuk peserta publik Indonesia, nilai tertinggi adalah 94, sedangkan esai karya saya hanya mendapat nilai 85 dan berada di urutan ke-19 dari 100 peserta publik Indonesia. Tentu saya sudah cukup senang, karena kesempatan langka bisa mengikuti acara sebesar ini. Acara yang menurut rencana akan dihadiri juga oleh Presiden RI Joko Widodo merupakan WCF ke dua, setelah sebelumnya juga diadakan di Bali pada 24-27 November 2013.
Hari pertama gelaran WCF 2016 diisi dengan registrasi ulang seluruh peserta dan penempatan pada hotel-hotel yang telah dipilih panitia. Pagi hari, khusus untuk sejumlah peserta undangan, telah diajak mengunjungi Subak, sistem pengairan irigasi tradisional khas Bali yang merupakan salah satu produk budaya “Pulau Dewata” ini. Subak telah ditetapkan UNESCO sebagai salah satu warisan dunia yang patut dilestarikan.
Peserta juga disuguhi berbagai makanan dan minuman, termasuk kuliner khas Bali seperti sate lilit. Jajanan khas Indonesia yang biasa dijumpai di mana-mana, seperti mie baso, soto ayam, sampai tempe dan tahu bacem, juga tersedia. Untuk minumannya, tentu saja ada es kelapa muda dan es cendol, di samping minuman lainnya.
Namun yang menarik adalah mengunjungi Rumah Topeng itu. Tercatat sedikitnya ada 1300 topeng dari berbagai daerah di Indonesia, serta juga topeng-topeng dari Afrika, Jepang, Meksiko, Tiongkok, Srilanka, sampai Korea. Selain topeng, di situ juga disimpan dan dipamerkan 5700 wayang dan boneka tradisional dari Indonesia, Tiongkok, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, India, Laos, Srilanka, dan Korea.
Benda-benda koleksi Rumah Topeng yang terletak pada lahan seluas 10.000 meter persegi, sesungguhnya memiliki keunikan tersendiri setiap koleksinya. Bila diamati seksama, sebenarnya topeng-topeng itu berbicara melalui bentuk dan karakternya.
Demikian wayang serta boneka yang ditampilkan, bukan sekadar wayang kulit atau wayang golek biasa. Banyak yang merupakan wayang kulit, wayang golek, maupun boneka yang unik. Contohnya, jauh-jauh dari Jakarta malah saya bertemu dengan wayang golek khas Betawi yang diangkat dari cerita misteri “Si Manis dari Jembatan Ancol”.