Mohon tunggu...
Berty Sinaulan
Berty Sinaulan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog

Pewarta, Pelatih Pembina Pramuka, Arkeolog, Penulis, Peneliti Sejarah Kepanduan, Kolektor Prangko dan Benda Memorabilia Kepanduan, Cosplayer, Penggemar Star Trek (Trekkie/Trekker), Penggemar Petualangan Tintin (Tintiner), Penggemar Superman, Penggemar The Beatles

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Melangkah Pasti ke Depan dengan Senyuman

14 April 2015   23:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merasa berat berasuransi, pernah dialami sebagian dari antara kita. Beberapa komentar yang pernah diungkapkan antara lain, “Ngapain sih berasuransi, bikin repot mesti bayar premi tiap bulan, padahal ‘kan uangnya bisa dipakai buat yang lain”. Ada lagi berkomentar, “Pakai asuransi (jiwa) segala, kalau sudah takdirnya meninggal ya mana bisa ditolak”.

Sementara yang lain, “Nggak kuat bayar preminya, terlalu tinggi dan mahal yang harus dikeluarkan tiap bulannya”. Sebaliknya, yang merasa berkemampuan lebih justru menyatakan, “Nggak perlu asuransi (kesehatan), uang tabunganku sudah cukup untuk membiayai perawatan kesehatanku bila diperlukan”. Yang disebut terakhir ini bukan rekaan, pernah benar-benar terjadi. Di sebuah pertemuan informal di salah satu restoran yang cukup bergengsi di Jakarta Pusat, seseorang pernah mengucapkan kalimat itu. Meski pun tak sama persis, tetapi intinya sama, merasa tidak perlu asuransi karena dana tabungan sudah cukup banyak.

Di sinilah sebenarnya dibutuhkan edukasi dari “orang-orang asuransi” secara benar, transparan, dan tepat sasaran. Misalnya, soal biaya premi yang dianggap tinggi sehingga membuat orang keberatan berasuransi, sebenarnya dapat dicarikan produk yang sesuai dengan kebutuhan orang tersebut. Bisa jadi preminya tinggi, karena pihak penjual atau agen asuransi yang mem-“prospek” calon nasabah asuransi tidak melakukan fact finding dengan baik, sehingga tidak dapat menentukan produk yang cocok untuk sang calon nasabah. Pencarian fakta itu antara lain mencakup pendapatan sang calon nasabah dan kebutuhan apa yang benar-benar saat itu diperlukan. Salah mengamati fakta, dapat berakibat salah memberikan produk kepada calon nasabah. Tak usah heran bila ada calon nasabah yang terkejut mendengar atau membaca jumlah premi yang harus dibayarkannya, karena terlalu tinggi dari kemampuannya.

Sebaliknya, ada juga yang berkeberatan berasuransi karena merasa lebih tahu. Ya, sikap sok tahu dan merasa lebih pintar. “Ngapain gue beli asuransi, nggak ada manfaatnya. Mendingan beli produk investasi yang lain,” begitu ditirukan seorang pengamat asuransi yang ditemui awal pekan ini, sambil menambahkan, bahwa ini biasanya adalah orang-orang yang sudah “melek” investasi. Mereka lebih memilih main saham, membeli reksadana, atau memasukkan uang di deposito bila bunga yang ditawarkan pihak bank cukup tinggi. Ada juga yang berinvestasi membeli tanah, rumah, dan apartemen, di luar rumah yang memang ditinggali selama ini.

Padahal manfaat yang diberikan oleh asuransi itu berbeda dengan yang ditawarkan oleh produk-produk investasi lainnya. Sebagaimana sering diungkapkan dalam pepatah, “don’t put your eggs in one basket” (jangan letakkan semua telurmu dalam satu keranjang), kalau ada apa-apa, maka tak ada proteksi lainnya.

Asuransi itu – khususnya asuransi jiwa – sebenarnya diberikan untuk mengganti nilai ekonomi orang bila orang tersebut meninggal dunia, secara cepat dan langsung. Ahli warisnya langsung akan mendapatkan sesuai perjanjian yang telah dilakukan dengan pihak perusahaan asuransi. Sementara kalau warisan berupa tanah atau rumah, tidak akan membantu keluarga yang ditinggalkan dalam hal kestabilan dalam waktu pendek. Tanah, apartemen, atau rumah, perlu waktu untuk dijual. Mungkin yang dapat segera diuangkan adalah bila investasinya dalam bentuk emas murni atau deposito. Sedangkan saham atau reksadana, tidak terlalu sulit juga untuk dijual atau dicairkan, tetapi nilainya sangat bergantung dengan keadaan “pasar” saat itu. Bisa saja nilai saham dan reksadana tersebut anjlok, sehingga hasil yang diharapkan tidak sesuai dengan kebutuhan.

Jadi yang perlu diingat, asuransi tidak mengganti nyawa orang, tetapi kalau orang tersebut masih hidup maka dia akan menghasilkan uang senilai sekian. Setelah yang bersangkutan meninggal dunia, maka nilai ekonominya hilang. Seorang kepala keluarga yang tadinya dengan mudah membiayai anaknya sekolah, setelah sang kepala keluarga meninggal, maka tak ada lagi yang dapat membayar uang sekolah sang anak.

Di sinilah peran asuransi, mengganti nilai ekonomi orang yang meninggal dunia, sehingga gaya hidup keluarga yang ditinggalkan tidak usah berubah. Gaya hidup tidak berubah, artinya bisa menjaga martabat keluarga itu. Tidak perlu karena sang kepala keluarga yang selama ini menafkahi keluarga meninggal dunia, maka keluarganya jadi hidup susah.

Soal asuransi jiwa ini, seperti sudah disebutkan, ada juga yang berkeberatan, dengan menganggap kalau memang sudah waktunya meninggal dunia, bukankah itu takdir semata. Tetapi bukankah kita tak boleh pasrah saja. Sama saja kalau kita menyeberang jalan, selalu melihat ke kiri dan kanan, atau saat sudah malam, kita selalu mengunci pintu rumah. Gunanya tentu saja untuk proteksi, untuk melindungi diri kita.

Asuransi Kesehatan

Begitu pula dengan asuransi kesehatan. Ada yang beranggapan bahwa tabungannya sudah cukup banyak, jadi tak perlu asuransi kesehatan lagi. Suatu anggapan yang tak sepenuhnya benar. Mungkin memang tabungannya cukup banyak untuk membiayai perawatan kesehatan bila diperlukan, namun perlu diingat bila seseorang sakit, yang memerlukan tambahan biaya bukah hanya si sakit.

Ambil contoh seorang sakit dan terpaksa dirawat di rumah sakit. Kalau yang bersangkutan kepala keluarga yang mendapatkan penghasilan hanya bila yang bersangkutan bekerja, maka berarti saat sakit tak ada penghasilan yang masuk. Belum lagi untuk mereka yang bolak-balik mengurus si sakit, tentu perlu biaya dan lain sebagainya. Jadi kalau pun ada tabungan, sebaiknya digunakan untuk hal-hal di luar perawatan langsung si sakit. Asuransi digunakan untuk biaya perawatan medis si sakit.

Seberapa banyaknya tabungan seseorang, bila terus-menerus “digerogoti” untuk membiayai perawatan kesehatan, maka lama-lama akan menipis dan habis juga. Jadi asuransi menjaga agar uang tabungan yang dimiliki, tak menyusut secara drastis dalam tempo cepat. Nanti, gegara melihat tabungan menyusut dengan cepat karena habis dipakai untuk perawatan medis, malah si pemilik tabungan jatuh sakit lagi.

Jadi buat yang berkeberatan berasuransi, ingatlah saat kita membeli dan membawa payung. Dalam hati mungkin kita berpikir, buat apa kita membeli payung saat cuaca panas. Tetapi saat hujan, di mana orang lain tak ada yang membawa payung, betapa bersyukurnya kita membeli dan membawa payung. Sementara yang lain kehujanan, kita tinggal membuka payung dan melangkah pasti ke depan dengan penuh senyuman.

Semoga tak ada lagi kita yang merasa berat berasuransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun