Dua tahun terakhir ini istilah 'kurikulum merdeka' mirip seperti peragawati maupun peragawan yang berlegak legok diatas catwalks. Menteri pendidikan Indonesia, Nadim Makarim melalui kanal youtube Kemendibud pada 21 Februari 2021 secara resmi mengumumkan kurikulum Merdeka sebagai nama kurikulum baru. Sejak itu  bermunculan lah istilah sekolah penggerak, guru penggerak , seolah selama ini sekolah dan guru 'kebanyakan' tidak bergerak.  Gerakannya memang terlihat: berbagai pelatihan guru diselenggarakan, kurikulum 2013 'digerak-gerakkan' supaya sekolah-sekolah menerapkan kurikulum baru- kurikulum merdeka. Gerakan kasak kusuk semakin nyata mengingat liburan sekolah tahun ajaran 2022/2023 akan berakhir dan tahun ajaran 2023/2024 akan segera mulai. Bagi sekolah-sekolah swasta yang akan memulai menerapkan kurikulum merdeka ini, berbulan-bulan sebelumnya sudah berasakan jerat kelelahan  ditengah degung 'kurikulum merdeka' yang disuarakan pimpinan/yayasan sebagai wujud meresponi kebijakan Kemendikbud ini.Â
Dewasa ini, tidak lagi dapat dipungkiri bahwa realita menjadi guru di sekolah-sekolah swasta, seringkali tidak jauh berbeda dengan pedagang yang menjajakan dagangannya. Khususnya dikota-kota besar, katakanlah Jakarta, dengan berbagai pilihan sekolah swasta: dari sekolah yang 'high class' (paling tidak menganggap dirinya high class karena bertaraf internasional atau menginternasionalkan diri dengan membanggakan bahasa Inggrisnya tanpa malu dengan kemampuan bahasa Indonesianya di bawah 'rata-rata) hingga sekolah 'rakyat jelata' (menggunakan KJP) guru-guru diperlakukan sebagai 'penjual jasa'. Mungkinkah guru akhirnya kehilangan kemerdekaan? Mungkinkah guru-guru tidak banyak bergerak (kurang inisiatif maupun inovatif berhenti berpikir HOTS*) karena memang mereka tidak lagi merdeka. Visi misi yang semula menjadi guru, perlahan tergerus oleh sistim sekolah - tuntutan hidup.
Jika murid yang mendaftar kurang maka itu dianggap indikator dari kualitas guru yang kurang. Â Sekolah sebagai wajah pendidikan berubah menjadi wajah penjaja jasa. Tidak heran ada sekolah-sekolah yang membuka counter Sabtu dan Minggu di mal-mal demi memperkenalkan sekolah dan mendapatkan murid baru. Siapa yang menjadi 'sales'nya, tentu saja guru. Mereka membagikan brosur dengan senyum manis ala sales. Sangat ironis, jika itu adalah sekolah Kristen. Bukankah Minggu hari Sabat, hari perhentian, dimana umat Kristiani beribadah digereja; menikmati persekutuan dengan Tuhan dan sesama. Bayangkan: untuk beribadah di hari Minggu saja mereka sudah tidak merdeka! Kalau murid baru tidak mencapai target sekolah, mereka akan was-was, siapa diantara mereka yang akan di PHK atau mungkin dipindah ke lokasi lain dengan alasan jam mengajar terlalu sedikit. Dilema bukan?
Sudah menjadi rahasia umum, ganti pemerintah berarti ganti kebijakan. Jika diijinkan memberi dugaan maka dugaannya adalah kebijakan baru sama dengan anggaran baru. Kurikulum merdeka  dengan geliatannya tentu saja memiliki anggaran. Diantaranya, anggaran untuk pembinaan guru-guru penggerakan,  pembuatan kurukulum merdeka dan sebagainya. Ironisnya, para pembuat kebijakan kemungkinan besar tidak pernah menjadi guru atau  penelitian yang dilakukan terlalu banyak kekosongan di sana-sini. Maklum, Indosesia itu memiliki kota-kota besar sampai daerah tertinggal.  Â
Rahasia umum lainnya, sama seperti para dosen, guru pun tidak merdeka memberi nilai.  Jika mata pelajaran yang diampu, ada murid yang tidak tuntas maka guru dianggap kurang  berhasil menjadi guru. Juga sudah jadi rahasia umum ada sekolah yang peraturan sekolah hanya terlihat tertata di atas kertas namun tidak dilaksanakan. Sama seperti nilai-nilai yang tertulis di kertas tidak lagi menggambarkan realita sebenarnya keadaan murid di dalam proses pendidikan. Lagi-lagi karena guru akhirnya memilih jalan aman bagi dirinya. Dari pada terjepit di dua sisi: ditekan pimpinan/yayasan sebagai pemberi kerja dan upah padanya dengan tudingan orangtua murid dan atau murid karena memberi nilai sesuai dengan hasil belajar murid yang sesungguhnya (dibawah KKM), pilihannya adalah memberi nilai aman.
Kesimpulannya, kalau di Beranda | Kurikulum Merdeka (kemdikbud.go.id) dikatakan bahwa Kurikulum Merdeka memberikan 'kemerdekaan' atau keleluasaan kepada guru untuk menciptakan pembelajaran berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajar murid, maaf - mungkin itu hanyalah indah diatas kertas. Perubahan kurikulum tidak memerdekakan guru, hanya menggerakkan mereka pontang panting dan malah mengaburkan visi misinya sebagai pendidik. Bagaimanapun, khususnya guru-guru swasta ada dibawah kepemimpinan yayasan sekolah masing-masing, dimana respon terhadap kebijakan pemerintah dapat bervariasi. Bayangkan betapa tidak merdekanya para guru ini!
Bagi guru-guru yang menjadi guru tanpa visi misi, perubahan apapun yang terjadi tidak menjadi masalah: mereka merdeka di dalam ketidaktahuan dan ketidakmautahuan. Mungkin ini lebih baik, ikut tren saja. Kalau trennya lagi kurikulum merdeka, ya ikut saja, yang penting cicilan rumah, mobil, semua beres. Tetapi jangan lupa, justru itulah bagian dari perbudakan. Pendidikan seharusnya memerdekakan diri dari ketidaktahuan. Proses belajar dimulai dari keingintahuan sehingga lepas dari ketidaktahuan. Maka idealnya, guru harus merdeka untuk bisa memerdekakan. Apakah kurikulum merdeka jawabannya?
Dapatkah guru-guru merdeka mengerjakan visi dan misinya sebagai guru? Ganti menteri ganti kurikulum, padahal setiap tahun, sekalipun dengan kurikulum yang sama, guru-guru yang punya visi dan misi guru sudah berjuang mengenali puluhan murid baru yang Tuhan hadirkan untuk mereka didik.  Ah...memikirkan wajah pendidikan Indonesia banyak rupanya, pusing tujuh keliling. Keberdosaan manusia terasa nyata bahkan ketika membicarakan merdeka belajar. Biasanya orang yang tidak merdekalah memperjuangkan kemerdekaannya. Teringat apa yang dikatakan Yakobus, "...jangan banyak orang diantaramu yang mau jadi guru. sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi  menurut ukuran yang lebih berat " (Yakobus 3:1). Tetapi kalau panggilan dengan visi misi yang jelas, dikerjakan saja dalam anugerah Tuhan. Ini dunia berdosa, banyak yang belum merdeka! (Tetap merdeka Bapak/Ibu Guru)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H