Mohon tunggu...
Travel Story Artikel Utama

Ke Papua Nugini tanpa Paspor dan Visa, Mau Tahu Caranya?

3 Oktober 2016   13:06 Diperbarui: 10 Oktober 2016   15:48 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbatasan RI-PNG, Skouw. (doc. @ berton pasaribu)

Pengalaman yang sangat menarik saat saya melaksanakan tugas di Kota Jayapura, di mana BLKI (Balai Latihan Kerja Industri) Propinsi Papua mengundang saya sebagai narasumber untuk menyampaikan materi QMS (Quality Managemen System) di lingkungan BLKI dan Disnakerduk Propinsi Papua selama 5 hari, pada Bulan November 2013. Walaupun waktu sangat singkat, tetapi saya menyisihkan waktu selama sehari untuk mengunjungi daerah perbatasan antara negara Republik Indonesia (RI) dengan Papua New Guinea (PNG).

Sebenarnya tidak ada terlintas dalam benakku untuk mengunjungi PNG, namun seorang teman menawarkan pada saya untuk mengunjungi 'perbatasan'. Semula saya belum mengerti apa maksud perbatasan tersebut, lalu ia menjelaskan dan memberikan tawaran yang menantang, kalau kita nanti mengunjungi perbatasan tersebut kita sudah ke luar negeri tanpa menggunakan paspor dan visa. Dari tawarannya, saya semakin tertarik dan menerima tantangan tersebut. 

Lalu kami berangkat ke tempat yang dituju pada Hari Sabtu jam 9 pagi waktu setempat dengan menggunakan mobil Kijang Innova melaju ke arah Desa Skouw, sebuah desa paling ujung di Indonesia bagian timur yang langsung berbatasan dengan negara Papua New Guinea. Waktu perjalanan memakan waktu kira-kira 2 jam dari Kota Jayapura ke daerah perbatasan PNG dan kami tiba di lokasi pada jam 11 WIT. Kendaraan dari Indonesia hanya boleh masuk sampai di pos jaga tentara Desa Skouw, selanjutnya para pengunjung harus berjalan kaki menuju batas negara.

Sebelum sampai di pos jaga kita melewati pos tentara di mana setiap kaca mobil harus dibuka dan diperiksa oleh petugas berwajah garang yang lengkap dengan senjata laras panjang di pundak, seolah-olah telah siap siaga menghadapi hal-hal yang dianggap melanggar aturan yang ada, hal ini membuat jantung berdetak lebih cepat (maklumlah baru pertama kali masuk di perbatasan dua negara). Kalau mendengar informasi dari televisi, di daerah perbatasan antara negara sangatlah menakutkan contohnya di daerah perbatasan antara negara India dan Pakistan, masing-masing negara mempertontonkan kekuatan militernya. Hal ini membuat saya semakin was-was.

Banyak pengalaman yang tidak terlupakan saat saya dan teman-teman berada di daerah perbatasan tersebut. Pertama, saya terheran ketika saya dapat menginjakkan kaki ke negara lain tanpa menggunakan visa, petugas hanya meminta untuk meninggalkan kartu identitas (KTP) setelah itu boleh masuk ke wilayah negara PNG. Kejadian ini baru pertama kali saya alami, masuk ke negara lain tanpa menggunakan paspor dan visa. Walaupun saya pernah berkunjung ke luar negeri (Singapore) di mana prosedurnya sangat rumit, kita wajib memiliki paspor, visa dan harus mengisi formulir dengan rinci di kantor imigrasi (bandara) negara yang kita kunjungi. Wah sesuatu pengalaman yang sangat menarik.

Lalu setelah kami masuk ke wilayah PNG, kami merasakan suasana yang sangat berbeda, karena masyarakatnya menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa PNG. Hal ini ditunjukkan pada gapura yang bertuliskan “WELCOME TO PAPUA NEW GUINEA” dengan tulisan “Jesus Christ” berwarna merah di bawahnya (Bahasa Inggris), masih pada gapura yang sama ditemukan tulisan WELKAM LONG PAPUA NIUGINI” dan “Lord Over This Land” (yang kami anggap kemungkinan ini adalah bahasa PNG).

Gapura Selamat Datang Ke PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Gapura Selamat Datang Ke PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Sebelum saya dan teman-teman masuk lebih jauh lagi di tanah PNG, kami disuguhi dengan pemandangan asap yang keluar dari kios kecil yang ada di depan kami. Saya mengira bahwa ada pembakaran di tempat tersebut, ternyata asap tersebut berasal dari lempengan besi, di mana perempuan setengah baya sedang menggoreng sosis daging domba, sementara ada anak remaja sedang menjaga kios untuk menjual beberapa barang dagangannya termasuk sosis yang telah digoreng, lalu sosis tersebut dijual kepada para pengunjung dan warga setempat. Harga sosis tersebut juga sangat terjangkau, membuat para pengunjung ingin mencoba membeli dan mencicipinya.

Warga Papua New Guinea sambil menjajakan dagangannya. (doc. @ berton pasaribu)
Warga Papua New Guinea sambil menjajakan dagangannya. (doc. @ berton pasaribu)
Desa PNG yang langsung berbatasan dengan Indonesia adalah Desa Wutung. Di Desa Wutung ini, kami mengunjungi satu rumah tepat di pinggir karang yang dijaga oleh tiga orang anak berkisar umur 7-13 tahun, ternyata anak tersebut ditugaskan untuk memungut uang masuk, apabila ada pengunjung ingin masuk ke area yang mereka jaga. Setiap orang harus membayar 3 kina (atau setara dengan Rp 10.000). Setelah kami membayar tarif yang ditentukan lalu kami diperbolehkan masuk ke daerah yang mereka jaga. Sesampai di lokasi tersebut ternyata kami menemukan pemandangan yang sangat indah yaitu pemandangan Pantai Wutung PNG, pantai tersebut menyatu ke laut pasifik, dan di bibir pantai terlihat pemukiman penduduk. Wah.... betul-betul pemandangan yang indah.

Pantai Wutung PNG. (dok. @ berton pasaribu)
Pantai Wutung PNG. (dok. @ berton pasaribu)
Menurut informasi yang kami terima bahwa beberapa anak di Desa Wutung mengecam pendidikan di sekolah Indonesia (Desa Skouw), saat saya mewawancarai beberapa anak PNG, mengapa mereka lebih memilih sekolah di Indonesia. Mereka beralasan, karena secara letak lokasi lebih dekat dibanding mereka sekolah di kota PNG. Dengan sekolah di Indonesia, membuat mereka memiliki kemampuan lebih dari satu bahasa yaitu: Bahasa PNG, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. 

Sehingga ketika ada wisatawan dari Indonesia yang mengunjungi daerah tersebut mereka langsung menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, walaupun Bahasa Indonesia yang mereka pergunakan tidak begitu sempurna. Hal ini dapat dilihat pada papan pengumuman yang tertempel di dinding rumah tersebut. “Permeshi – Sebelum masuk.... Setiap orang dibayar Rp 10.000 (K.300) dulu baru bisa masuk lihat permendangan (view)”. Namun demikian saya sangat mengapresiasi warga PNG menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa komuniksasinya.

Rumah panggung di PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Rumah panggung di PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Berbaur dengan penduduk lokal di PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Berbaur dengan penduduk lokal di PNG. (doc. @ berton pasaribu)
Di samping pemandangan alam yang indah, kita juga dapat melihat berbagai macam aktivitas warga PNG yang ada di perbatasan. Warga PNG baik orang tua, anak muda maupun anak-anak sangat aktif keluar – masuk daerah Indonesia untuk berbelanja ke Desa Skouw, banyak warga PNG berbelanja berbagai macam barang kebutuhan mereka dari Indonesia. Mereka mengangkut barang belanjaan dengan ditenteng, pikul dan dan bahkan menggunakan grobak dorong satu roda untuk mengangkut barang belanja mereka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun