Pengalaman yang sangat menarik saat saya melaksanakan tugas di Kota Jayapura, di mana BLKI (Balai Latihan Kerja Industri) Propinsi Papua mengundang saya sebagai narasumber untuk menyampaikan materi QMS (Quality Managemen System) di lingkungan BLKI dan Disnakerduk Propinsi Papua selama 5 hari, pada Bulan November 2013. Walaupun waktu sangat singkat, tetapi saya menyisihkan waktu selama sehari untuk mengunjungi daerah perbatasan antara negara Republik Indonesia (RI) dengan Papua New Guinea (PNG).
Sebenarnya tidak ada terlintas dalam benakku untuk mengunjungi PNG, namun seorang teman menawarkan pada saya untuk mengunjungi 'perbatasan'. Semula saya belum mengerti apa maksud perbatasan tersebut, lalu ia menjelaskan dan memberikan tawaran yang menantang, kalau kita nanti mengunjungi perbatasan tersebut kita sudah ke luar negeri tanpa menggunakan paspor dan visa. Dari tawarannya, saya semakin tertarik dan menerima tantangan tersebut.
Lalu kami berangkat ke tempat yang dituju pada Hari Sabtu jam 9 pagi waktu setempat dengan menggunakan mobil Kijang Innova melaju ke arah Desa Skouw, sebuah desa paling ujung di Indonesia bagian timur yang langsung berbatasan dengan negara Papua New Guinea. Waktu perjalanan memakan waktu kira-kira 2 jam dari Kota Jayapura ke daerah perbatasan PNG dan kami tiba di lokasi pada jam 11 WIT. Kendaraan dari Indonesia hanya boleh masuk sampai di pos jaga tentara Desa Skouw, selanjutnya para pengunjung harus berjalan kaki menuju batas negara.
Sebelum sampai di pos jaga kita melewati pos tentara di mana setiap kaca mobil harus dibuka dan diperiksa oleh petugas berwajah garang yang lengkap dengan senjata laras panjang di pundak, seolah-olah telah siap siaga menghadapi hal-hal yang dianggap melanggar aturan yang ada, hal ini membuat jantung berdetak lebih cepat (maklumlah baru pertama kali masuk di perbatasan dua negara). Kalau mendengar informasi dari televisi, di daerah perbatasan antara negara sangatlah menakutkan contohnya di daerah perbatasan antara negara India dan Pakistan, masing-masing negara mempertontonkan kekuatan militernya. Hal ini membuat saya semakin was-was.
Banyak pengalaman yang tidak terlupakan saat saya dan teman-teman berada di daerah perbatasan tersebut. Pertama, saya terheran ketika saya dapat menginjakkan kaki ke negara lain tanpa menggunakan visa, petugas hanya meminta untuk meninggalkan kartu identitas (KTP) setelah itu boleh masuk ke wilayah negara PNG. Kejadian ini baru pertama kali saya alami, masuk ke negara lain tanpa menggunakan paspor dan visa. Walaupun saya pernah berkunjung ke luar negeri (Singapore) di mana prosedurnya sangat rumit, kita wajib memiliki paspor, visa dan harus mengisi formulir dengan rinci di kantor imigrasi (bandara) negara yang kita kunjungi. Wah sesuatu pengalaman yang sangat menarik.
Lalu setelah kami masuk ke wilayah PNG, kami merasakan suasana yang sangat berbeda, karena masyarakatnya menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa PNG. Hal ini ditunjukkan pada gapura yang bertuliskan “WELCOME TO PAPUA NEW GUINEA” dengan tulisan “Jesus Christ” berwarna merah di bawahnya (Bahasa Inggris), masih pada gapura yang sama ditemukan tulisan WELKAM LONG PAPUA NIUGINI” dan “Lord Over This Land” (yang kami anggap kemungkinan ini adalah bahasa PNG).
Sehingga ketika ada wisatawan dari Indonesia yang mengunjungi daerah tersebut mereka langsung menggunakan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, walaupun Bahasa Indonesia yang mereka pergunakan tidak begitu sempurna. Hal ini dapat dilihat pada papan pengumuman yang tertempel di dinding rumah tersebut. “Permeshi – Sebelum masuk.... Setiap orang dibayar Rp 10.000 (K.300) dulu baru bisa masuk lihat permendangan (view)”. Namun demikian saya sangat mengapresiasi warga PNG menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa komuniksasinya.