Setiap orang menjalani hidup dengan mengisi hari-hari melalui kegiatan yang berpengaruh pada hidup mereka. Semua orang terlahir memiliki waktu dengan kebebasan penuh untuk menggunakannya. Mau digunakan untuk apa waktu yang dimiliki, tidak ada yang menjadikan soal. Namun, hal tersebut tidak berlaku disaat waktu yang dimiliki berbenturan dengan kepentingan-kepentingan tertentu - apalagi jika si pemilik waktu tersebut memilih untuk menjadi bagian krusial sebuah sistem atau organisasi tertentu.
Masyarakat yang mengakui betapa berharganya waktu berkemungkinan besar menyetujui pernyataan-pernyataan seperti "waktu adalah uang" atau "an inch of time can buy an inch of gold, but an inch of gold can't buy an inch of time." Waktu dinilai sebagai modal kemajuan dan kemakmuran, jika dinilai dari sudut pandang kuantitas kepemilikan materi. Namun, jika tolok ukur kualitas hidup lebih dari kepemilikan materi - lebih dari uang - bagaimana keberadaan waktu dipersepsikan?
Persepsi terkait kualitas hidup masing-masing orang bisa jadi berbeda. Yang jelas, setiap orang memiliki tujuan hidup, atau setidaknya sesuatu yang diperjuangkan, yang diikuti oleh cara mereka mengalokasikan waktu.
Bukan hal yang baru disaat kita mendengar kisah nyata dari teman maupun keluarga yang tergolong dalam kelas ekonomi menengah atas menghadapi masalah dalam mengelola alokasi waktu bagi keluarga, lingkaran sosial, pekerjaan, bahkan bagi diri mereka sendiri. Sebuah contoh mudah yang lumrah terjadi pada masyarakat tipikal menengah atas antara lain adalah keluarga dengan anak yang dititipkan pada pengasuh ataupun asisten rumah tangga karena kedua orangtuanya berkarir pada perusahaan tertentu.
Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun dalam konteks pengasuhan dan parenting terdapat beberapa hal yang hanya dapat dinilai dengan waktu: kesetiaan, pembentukan karakter, sense of belonging, dan cinta. Saya tidak yakin cinta dapat selalu dinilai dengan uang.
Pembagian waktu tersebut tak ubahnya timbangan yang harus dijaga keseimbangannya: jika tidak dijaga, maka akan terjadi konsekuensi yang mempengaruhi kualitas hidup secara berkelanjutan. Masalah tersebut mengingatkan saya akan satu kuliah umum yang disampaikan oleh ibu Sri Mulyani, yang ditampilkan di website YouTube pada 2018, yang menyinggung soal aset yang menghasilkan pendapatan pasif. Di dalam kepala saya, hal tersebut membentuk fondasi berpikir yang menempatkan kepemilikan waktu - tidak sekadar uang - sebagai komponen tujuan dan tolok ukur kesuksesan.
Lalu, bagaimana keberadaan waktu dipersepsikan? Berangkat dari pemahaman bahwa tidak semua hal dapat dinilai dengan jumlah materi, berbagai hal hanya dapat dilakukan jika seseorang memiliki waktu. Gagasan untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik melalui refleksi hidup untuk menggali identitas diri yang lebih dalam juga menjadi pertimbangan - beberapa orang menyebutnya bagian dari aktualisasi diri.Â
Dengan memiliki waktu, seseorang benar-benar dapat bergerak menuju hal-hal yang terpenting dan paling bermakna dalam kehidupannya - itupun jika individu tersebut telah benar-benar memiliki tujuan hidup dan mengetahui kemana hidupnya akan bergerak, mengetahui komponen-komponen standar hidup yang paling bermakna dalam hidupnya, yang sebenarnya juga dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk merefleksikannya.
Sebuah pepatah klasik mengatakan"Great things take TIME"
catatan: Saya mengekspresikan diri melalui tulisan ini dalam rangka merayakan hari kesehatan mental dunia. Saya percaya bahwa perjalanan menuju apa yang hendak dituju dalam hidup merupakan bagian dari regulasi diri dalam menjaga kesehatan mental. Tidak ada perjalanan dan petualangan yang tidak membutuhkan waktu.
Yogyakarta, 10 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H