Mencermati tulisan Sutan Dijo “Siapakah Yang Menciptakan Tuhan?” (Kompasiana, 25/4/2010 atau http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/25/siapakah-yang-menciptakan-tuhan/) serta tanggapan-tanggapan atasnya, tentu ada pelbagai pendapat yang segera menyetujui, menentang, hingga mengaggap penulis tidak konsisten. Pertanyaan Sutan Dijo sebenarnya bukan pertanyaan fundamental dalam filsafat. Malahan, itu bukan pertanyaan dan obyek formal Filsafat.
Namun, dalam bahasannya segera muncul uraian yang sebenarnya dianggap sebagai bagian “Filsafat Ketuhanan” (Theodicea, maaf, bahasa Arabnya?) dan sudah dapat diterka, bahwa pendekatan Theodicea pun tidak memulai dengan pertanyaan sedemikian.
Pertanyaan “Siapakah yang Menciptakan Tuhan?” pertanyaan Antropologis ataupun Psikologis yang terkadang lebih membahas secara kritis pilihan skeptis atau agnostik untuk percaya kepada Tuhan daripada tidak. Seorang SKEPTIS akan berkata: “Ah, lebih baik percaya kepada Tuhan, jikalau DIA ada, kita akan mendapat rahmat-NYA (seperti diwartakan agama-agama)! Tetapi jika tidak ada, juga tidak apa-apa!” Bagi seorang GNOSTIC, karena Saya hanya percaya kepada Tuhan sejauh yang dapat diterima oleh akal-budi. Yang tidak diterima, tidak harus dipercaya!
Psikologi sering mengkritisi orang beragama “menciptakan atau memproyeksikan” Tuhan yang muncul dari egosentrismenya. Sehingga, Tuhan yang Maha Besar menjadi kerdil dalam kehidupan pribadinya. Dalam pernyataan sedemikian, subyektivisme dan kepribadian seseorang yang “menciptakan” Tuhan dalam dirinya, memang tidak dapat menjadi analogi pertanyaan fundamental “Siapakah yang Menciptakan Tuhan?”.
Demikian halnya Antropologi, sebagai bagian dari ilmu filsafat yang mempelajari Manusia dan peradabannya, hendak mengkritisi proses “manusia menemukan dewa-dewi” hingga lahirnya agama-agama besar, yang sering dianggap lebih “rasional”. Meskipun demikian, proses peradaban manusia dan hubungannya dengan Sang Khalik, tetap tidak dapat atau tidak cukup dimulai dengan pertanyaan “Siapakah yang Menciptakan Tuhan?”
Dari sudut pandang “pengakuan akan dunia Supra-Natural” (PERCAYA atau IMAN) di satu sisi dan “dunia yang harus dipahami secara rasional” (RATIO) di sisi yang lain, pertanyaan “Siapakah yang Menciptakan “Tuhan?” adalah pertanyaan loncatan atau pertanyaan pada bagian tengah perjalanan permenungan.
Dalam kehidupan banyak Keyakinan (Agama), telah banyak disadari, bahwa pelbagai Ilmu Pengetahuan dan pelbagai penemuannya yang mengandaikan ratio, Keyakinan atau Iman tidak dapat dipertentangkan. Orang yang makin banyak bertanya tentang penemuan yang (tidak sesuai dengan, misalnya, bahasa Kitab-Kitab Suci), seperti Dinosaurus, terciptanya dunia dalam miliaran tahun (bukan 7 hari dan 7 malam) serta pelbagai penemuan lainnya, tidak menjadi bagian yang dipertangkan dengan AJARAN IMAN atau KEYAKINAN kaum beragama.
Tetapi, benarlah pula, bahwa ilmu-ilmu pengetahuan telah membantu manusia yang beragama untuk beriman secara lebih baik dan sesuai dengan temuan ilmiah jamannya. Salah satu kelemahan yang pernah, meski telah diperbaiki adalah, temuan Galileo-Galilei yang harus dihukum Gereja Katolik karena mengajarkan (dengan benar secara ilmiah), bahwa bumi dan dan benda angkasa berputar (revolusi) mengelilingi Matahari, bukan sebaliknya.
Akhirnya, manusia beragama-berkeyakinan tetap memerlukan RATIO untuk mengajukan banyak pertanyaan kritis lewat pelbagai ILMU-PENGETAHUAN MODERN, tetapi bagi orang beragama IMAN adalah cara terakhir dan final untuk menyatakan pengakuan penuh kepada Tuhan Yang Maha Besar. Ratio dan Iman tidak dipertentangkan. Dalam sebagian Kitab-Kitab Suci dikatakan, "Terberkati mereka yang percaya (karena iman), daripada mereka yang ingin mengerti barulah percaya. Sebuah paradoks dalam hubungan Iman dan Ratio.
Anselmus, salah seorang ilmuan dan cendekia, tidak hendak terjebak dalam kecenderungan mempertentangkan RATIO dan IMAN dan menjelaskan hubungan keduanya dengan mengatakan “Fides quarens intellectum!”, “Saya mengimani (Tuhan), karena itu saya berusaha memahami DIA”. Bukan sebaliknya, “Saya berusaha memahami DIA, supaya saya dapat mengimani DIA!” Yang terakhir ini hanya upaya bunuh diri. Karena, otak kita terlalu kecil untuk memahami pelbagai misteri alam. Dan karena begitu luas misteri alam yang tercipta dalam milyaran Tahun itu, tidak sedikit Ilmuan yang kemudian percaya, karena merasa diri begitu kecil begitu berupaya mengungkap misteri alam dan misteri Tuhan.
Lebih dari itu, judul pilihan Sutan Dijo itu, “Siapakah yang Menciptakan Tuhan?” adalah pilihan dengan tujuan atau cara untuk menarik kita berdirkursus. Beriman dengan refleksi kritis telah membawa banyak ilmuan besar dalam keyakinan beragam menjadi lebih inklusif, menerima pluralitas dan bersama-sama memahami betapa terbatasnya otak manusia. Juga, bahkan apa yang dikatakan berasal dari Tuhan harus diperiksa kembali, bila tidak membawa kemaslahatan bagi dunia, “global village”. Jadi, Tuhan Kaum Filsuf dan Tuhan Kaum Beriman adalah Tuhan yang Sama, dengan cara penghayatan dan pengaminan yang berbeda. Cara keduanya sama-sama memperkaya cara beriman dan berbakti kepada Gusti Allah.