[caption caption="No. No CONTEMPT OF COURT????"][/caption]
Publik berharap banyak, bahwa Majelis Kehormatan Dewan atau MKD akan mengurai kasus yang membelit Ketua DPR-RI ‘Setya Novanto’, setelah rekaman pembicaraannya menjadi ‘rahasia umum’. Namun, setelah mengikuti ‘gorengan para politisi KIH, terutama partai-partai dalam Koalisi Merah-Putih (KMP) di MKD, tampaknya, "rasa keadilan publik" terhadap MKD sebagai ‘pemulihan’ kehormatan Dewan’ akan kandas. Tegasnya, jangan berharap apa pun dari MKD.
Meski demikian, saya himbau masyarakat yang peduli kepada para wakilnya itu untuk tidak menghina, apalagi mencaci maki Majelis Kehormatan Dewan. Anggota dewan tampak melakukan apa yang diistilahkan dengan tindakan ‘sado-masokhsime’ politik, yang berarti ‘seseorang melakukan tindakan menyakiti orang lain dan menikmati penderitaan yang diderita orang yang mengalaminya, tetapi pada saat yang sama sendiri menikmati penderitaan (diri) yang muncul karena cercaan dan olok-olok publik.
Sehingga, penderitaan yang datang sebagai cercaan dan olok-olok publik, tidak menghasilkan evaluasi dan ‘otokritik’ (self-criticism), sebaliknya dinikmati, maka justeru diharapkan. Relasi transaksional yang bukan hanya tidak mendidik masing-masing pihak untuk berpribadi dewasa.. malah menjauhkannya... Inilah distorsi psiko-sosial seorang politisi yang tidak mature (matang) terhadap diri…. publik perlu tetap mengkritisi fakakta-fakta yang muncul dan menghindari tindakan melawan hokum lainnya seperti gambar dan ilustrasi-ilustrasi emosional.
Maka bertentangan dengan majelis “kehormatan” yang disandangnya, anggota ‘majelis itu juga terang-terangan ‘menunjukkan’ pelbagai gejala-gejala ‘aneh’ yang sepenuhnya untuk menutupi tindakan tipu-menipu’ yang dilakukan dirinya atau orang yang ‘memesannya’. Tegasnya, “Wong, dia sendiri sudah menghina dirinya sendiri, public tinggal menyaksikan kapan tindakan ‘sado-masokhisme politik anggota dewan yang tidak menghormati diri dan jabatannya itu, mengakhiri ‘masokhisme politiknya’.
Etiket boleh dilanggar demi tindakan (etis) lebih mulia
Saya tutup catatan pagi ini yang merupakan evaluasi atau catatan kritis atas acara Indonesia Lawyer Club (ILC) besutan Karni Ilyas yang saya hormati. Meski dengan tema ILC semalam, Bang Karni turut melakukan kesalahan kecil, tapi fatal itu dengan ‘sulit membedakan, makna kata ‘etik, Etika yang dibedakan dari ‘etiket belaka’.
Yang dipuji untuk ILC semalam hanya mantan ketua MK Mahfud MD dan Henry Josodingrat. Tampaknya, hanya kehadiran Mahfud MD yang membuat gentar anggota Dewan dari koalisi KMP, khususnya Golkar. Penjelasan-penjelasan Mahfud jelas memenuhi akal sehat masyarakat, dari keruweta akal bulus yang dibangun koalisi KMP. Maka tentu Bahasa simbolik medsos adalah ‘jempol’ untuk Mahfud.
Sementara, argument Henry Josodiningrat dari fraksi PDI-P yang ditolak masuk MKD, karena dianggap sedang ‘menjalani sanksi etik’ yang turut dilakukan sesama partai Juniver Girsang, yang sekaligus, wakil Ketua MKD, Henry mungkin gagal meyakinkan teman partainya dan KIH, adalah tragedi lain yang dipertontonkan, para sado-maskhis di Senayan itu.
Henry boleh melakukan “pelanggaran ETIKET” untuk ‘tindakan etis’ lebih mulia, sesuai nurani Henry. Misalnya, Henry terpaksa berlari di atas meja anggota MKD (tindakan tidak sopan dan melanggar etiket’), demi menyelamatkan, seorang anggota MKD yang akan dicekik hingga mati, misalnya. Tindakan Henry dalam ILC, yakni “meminta perlindungan hokum” kepada seseorang adalah tindakan mulia. Sebuah etiket (belaka) boleh dilanggar dalam situasi tertentu (menggunakann kop surat Dewan), untuk menyelamatkan nyawa sesama apalagi. Bertanyalah ke dosen Filsafaat Etika, alinea terakhir, sebelum menjadi anggota MKD salah menghukum orang karena tidak bisa membedakan etiket dan etika (tindakan etis). Juniver Girsang, teman Henry. Jempol untuk Henry, bila menolong sesama, dan ‘terpaksa’ berlari di atas meja anggota dewan, tentu termasuk di atas meja Juniver Girsang, bila nyawa Juniver terancam. Tindakan Henry Josodiningrat lebih mulia, dari Silent Opration, yang diduga menjadi jalan keluar kebuntuan yang disengajakan di MKD.
Bahkan Henry tidak melakukan 'contempt of Court" bila terpaksa melompat ke meja seorang hakim (melanggar etiket) tetapi menyelamatkan nyawa hakim, yang diterjang 'sebilah pisau'. Kalau interpretasi unntuk karikatur pinjaman ini, ketua MKD diberi tes, entah bisa menilai dengan tepat. Segitu saja repot. Hehehe….