Pilkada DKI 2017 putaran kedua menambah satu catatan lain, ketika Anies Baswedan meluncurkan istilah baru dalam kosa-kata politik DKI setidaknya, yaitu “Open Governance”. Istilah (ya konsep) open governance Anies tampaknya sudah beberapa kali dikemukakan dalam kesempatan berbeda.
Dalam Tribun News.com28/1/2017, Anies menyatakan bahwa “Good governance itu (isu?) tahun 1990-an. Ini era-open governance. Calon Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bakal menerapkan open government pada pemerintahannya mendatang. Pasalnya, sistem good governance yang diadopsi Pemprov DKI, sudah usang.” Kesempatan lain Anies nyatakan, “Tak cukup Good governance, lebih penting open governance”, detik.com, 27/1-2017.
Selanjutnya, juru bicara Anies Sandi mengelaborasi sendiri istilah, atau tepatnya ‘interpretasi Anies Basewedan atas, open-governance yang dikumandangkannya.
Tentulah dipahami publik, bahwa untuk menantang petahana, paslon no.3 harus mengkampanyekan hal-hal baru, gagasan baru yang akan mereka jalankan dalam roda pemerintahannya demi meraih s,impati publik pemilih secara signifikan agar dapat merebut kekuasaan dari pasangan petahana. Maka, dalam konteks sedemikian ingin kita pahami upaya-upaya ‘kreatif’ yang muncul dari paslon no.3. Retorika “asal-baru” bahkan terkadang konyol sekalipun, dalam konteks kampanye dianggap, yah “wajar-wajar sebagai ide
Namun, menurut hemat saya, menjadi tidak wajar bila ide itu dipertentangkan justeru dengan realitas politik dan konsep-konsep yang sedang baru dinikmati publik, perihal good and clean governance, yang lama dianggap lalai diimplementasikan, dan dalam hal ini good aand clean governance direduksikan (di-remeh-temekan) justeru dengan sebuah gagasan “sempalan” atau bagian-kecil dari gerakan besar dan fundamental good and clean governance.
Namun, tentang “open governance” yang dikampanyekan Anies Baswedan, bukan hanya membingungkan paslon petahana Ahok-Djarot yang juga merasa kebingunan “dengan istilah baru ini, tapi mungkin juga (terutama) interpretasi atasnya dan menjadi seolah sebuah “kriteria baru” yang diabaikan pemerinahan pasangan petahana.
Dalam tulisan singkat padatnya, David Saad Pemerintahan yang Terbuka Tata Kelola,
Right to Know Law, New Hampshire,. Center for Public Integrity, menerangkan hubungan open Government dan Good Governance. Saad mengatakan, “Untuk membuat pemerintah kita lebih terbuka, lebih mudah diakses, dan lebih bertanggung jawab. Saya menawarkan tiga ide berikut untuk perubahan legislatif yang akan membuat lebih mudah bagi kita untuk menggunakan hak kami untuk pemerintahan yang lebih terbuka dan transparan.
Pertama, tidak ada biaya untuk memeriksa catatan pemerintah. Catatan pemerintah kita milik rakyat dan warga negara seharusnya tidak dikenakan biaya untuk mendapatkan akses untuk catatan apa pun. Banyak warga akan kehabisan uang jauh sebelum mereka mencapai tujuan mereka. Bandingkan birokrasi kelurahan hingga provinsi era sebelum dan selama Ahok-Djarot.
Kedua, harus ada catatan (pemberitahuan2) setiap berpapasan semua papan publik, yang menyajikan pemberitahuan publik, sebaliknya tidak ada hal yang disimpan (ditutup-tutupi). Publik tetap punya pembanding.
Ketiga, meningkatkan penegakan hukum. Hukum hanya menjadi bermanfaat sejauh mekanisme penegakan hukum di lapangan untuk memastikan kepatuhan publik.