Negara kita ini menghidupi paradoks negatif dan menjadi sinisme yang tidak membuat  orang risih dan malu, malah sebaliknya seolah bangga dalam ketertinggalan pembangunan negara (maritim). Negara RI yang memiliki wilayah laut 70% dan karena disebut sebagai negara maritim, tetapi pengelolaan negara masih senantiasa dari sudut pandang negara daratan atau land-state, bukan maritime state. Ini mengandung konsekuensi pada timpangnya pembangunan negara kelautannya, yang pada kenyataannya, laut tidak menjadi ‘wahana pemersatu’, tetapi laut de facto tampak seolah sebagai pemisah antar daratan. Sinisme lain adalah bahtera kandas di daratan, karena tidak cukup samudera untuk dilayari. Ini sinisme atas ‘cara pandang’ (weltanschaung) yang berlawanan pada kenyataan geografis nusantara.
Pelbagai masukan untuk mengingatkan Pemerintah akan pembangunan yang pincang, karena pengelolaan alam Indonesia yang tidak menyeluruh (darat-laut hingga udara), mengakibatkan eksploitasi sektoral pada sektor tertentu secara berlebihan. Untuk mengambil pengelolahan minyak mentah untuk menjadi bahan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang telah mengguncang politik nasional. Terasa benar, seolah Indonesia hanya memiliki sumur-sumur minyak yang makin terkuras. Eksploitasi batu-bara pada gilirannya adalah bencana pengelolaan sumber energi yang lain. Sementara, gas alam telah dilelang murah-meriah pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri tanpa upaya untuk melakukan langkah renegosiasi berarti.
Keluhan para ahli, antara lain ahli hukum laut Prof. DR. Dimyati Hartono, SH, tentang pengelolaan wilayah kesatuan Nusantara menyangkut darat, laut dan udara (air-space) belum memiliki kesatuan konsep dalam kekuatan ideologi, politik, sosial, ekonomi, pertahanan-keamanan nasional. Ketidak berdayaan melakukan penguasaan holistik pada potensi laut-darat-udara membuat para ahli skeptis dengan kebijakan. Para pengambil kebijakan, yang pada gilirannya membuat masyarakat ragu, entahkah pemerintahan sungguh memiliki peta Nusantara secara lengkap dan utuh dan mengelolah secara profesional dan menjadikan Indonesia raksasa ekonomi karena pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan.
Dalam konteks dan kritik filosofi sedemikian, saya tertarik pada konsep Wakil Menteri (Wamen) Perindustrian Prof. Alex Retraubun dalam siaran Metro-TV (13/4, pkl 15.15) yang melakukan propaganda filosofi mengubah laut sebagai ‘wahana pemersatu’ antar pulau dengan pengembangan sektor kelautan di mana nelayan tradisional yang terisolasi secara karena faktor rendahnya infrastruktur. Dengan melakukan program nyata pada rakyat yang terisolir karena pulau-pulau yang relatif tidak mudah dijangkau, rencana produksi masif rumput laut dan pengelolaan industri hilir secara terpadu, hanyalah satu aksi kecil namun dalam weltanschaung dan fenomena menarik.
Dengan tepat Alex Retraubun yang ahli perikanan dan kelautan ini mengatakan, kalau di pulau Jawa sawahnya di darat, di wilayah lain Indonesia, khususnya Indonesia Timur, ‘sawah’-nya berada di laut. Pengelolaan laut dalam cara eksploitasi perikanan ataupun pembiaran illegal fishing adalah masalah sejak negeri ini berdiri.  Kalau kapal perang RI tidak dapat menangkap kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah laut Nusantara, hanyalah bentuk penghinaan lain kedaulatan penguasaan laut wilayah kesatuan Indonesia. Kalau menggeser patok di daratan pulau Kalimantan yang belum terselesaikan secara lebih baik, menelantarkan kedaulatan wilayah laut adalah bentuk friksi pembangunan yang meninggalkan tugas maha besar. Wilayah udara Nusantara adalah urusan yang benar-benar nyaris terlantar sama sekali.
Agenda produksi rumput laut yang menghidupi perekonomian nelayan pesisir dan pantai yang dilakukan Kementerian Kelautan-Perikanan dan Kementerian Perindustrian, memberi contoh mini bagaimana negara ini makin realistis memandang pembangunan menyeluruh wilayah Nusantara yang konon kaya. Kedaulatan ekonomi karena penguasaan wilayah laut-darat-udara secara ideologis (weltanschaung) dengan langkah-langkah lebih real, akan membawa harapan lebih besar. Daripada sekedar tambal-sulam kebijakan Bahan-Bakar-Minyak (BBM) misalnya.
Mari memandang Jakarta dan Indonesia, tidak hanya dari Tugu Monas. Pandanglah Jakarta (dan Indonesia), minimum dari Kepulauan Seribu. Suatu saat, budayawan Ignas Kleden mengibaratkan. Ribuan pulau lain di Nusantara membutuhkan seorang negarawan atau sejumlah negarawan di daerah dalam weltanschaung Founding Fathers, Pendiri Bangsa. Kita belum terlambat, tetapi terlampau lama membiarkan kedaulatan ekonomi menjadi komoditi politik. Kasihan Tugu Monas, dan kasihan Kepulauan Seribu di depan Jakarta. Tidak ada alasan untuk tidak memperhatikan Indonesia sebagai Negara Maritim, kalau tidak membiarkan laut menjadi wilayah pemisah kedaulatan. Sungguh kita generasi muda tidak paham, jika, pemimpin Negeri tidak berjiwa besar dan negarawan dalam membangun ekonomi, seperti Mohammad Hatta atau Sutan Sjahrir dalam membangun Indonesia. Ini Nusantara, Bung.
Penulis, pemerhati Budaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H