[caption id="attachment_173193" align="alignleft" width="273" caption="Ilustrasi, unduh Google: Supriono membawa jenazah puteranya di dalam gerobak (Jakarta, Akhir Desember 2011)"][/caption]
Aku bukan sangat yakin ada hidup setelah mati.
Berkali coba bertanya, ragu dan sangsi.
Kalau ada keabadian, apa perlu menimbun harta dan kubur mewah?
Para hakim lalim menyimpan salinan kebohongannya dengan kotak berlian.
Jaksa tuntut si Kecil berlipat, dan dakwaan si Berkaya di atas lembar cek.
Polisi berburu perampok untuk duduk bersama menghitung untung.
Kuwasiatkan, biarlah jenazahku dibaringkan di atas pusara mereka.
Karena, semua kalam kudus ada di ujung rambutnya.
Ketakutan dan kengerian akan hari itu lumrah dan eksistensial.
Aku ketakutan, kalau iri-hati pada penggelimang harta itu.
Takut, kalau tidak pernah berteriak membela yang terjepit.
Karena, aku memang iri hati dan dengki pada si berpunya yang tak adil.
Jujur, aku suka mengundang maut, kalau harus dengki.
Benci dan dengki pada sekat bertingkat yang dikira orang-orang tolot itu.
Iri hati dan dendam pada mereka yang mengangkat piring makan anak-anak yatim.
Murka pada mereka yang merubuhkan lapak gubuk tempat anak-anakku berteduh.
Harap kematianku mengakhiri kebodohan dendam dan iri hati ini.
Yah....Nafas berakhir, dan tanggalnya pun tidak penting.
Buka sabda Heidegger, Sein zum tode.*)
Hidup memang hanya untuk mati.
Kematian mengakhiri kesangsian.
Tidak membiarkan lama hati di gelombang angkara murka.
Tipu daya perasaan akan berakhir.
Malam kengerian ketika tidur terlelap.
Jemputan kereta jenazah akhirnya tiba di depan tempat tidurku.
Kucium putera-puteriku yang terlelap.
Mereka tersenyum dalam mata yang terkatup.
Lambaian berpamit ke kereta jenazahku.
Mereka penuh sukacita.
“Ayah, aku akan jadi orang terkaya di dunia!”, seru puteraku.
“Kami punya rumah penghidang santapan terlezat!”, tutur dua puteriku.
“Tidurlah ayah”, kudengar bisik mereka.
Besok pagi, semua akan terbit dalam kebangkitan.
Senyum menghantar nyawaku pergi.
Mereka terlalu belia untuk kehidupan ini.
Senyum akan menghapus dendam kesumat di dadaku.
Meski dunia telah mengakhiri harapanku.
Tangan pengampun menghantarku pergi, dalam pekat malam.
“Eli, Eli lama sabaktani.**)
Tuhanku, ya Tuhanku, mengapa engkau tinggalkan daku?”
*) sein zum tode (Jerman): hidup hanya untuk mati (Martin Heidegger)
**) Eli, Eli lama sabaktani (Ibrani): Tuhanku, ya Tuhanku, mengapa engkau tinggalkan daku.
Good Friday, 6 April
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H