Mohon tunggu...
Berthy B Rahawarin
Berthy B Rahawarin Mohon Tunggu... Dosen -

berthy b rahawarin, aktivis.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kapten Tsubasa, Honda, dan Kekuatan Ideologi

25 Juni 2010   14:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Banyak kejutan terjadi dalam Piala Dunia 2010 Afrika Selatan (Afsel). Sejumlah rekam-jejak bisa disebut. Tetapi, seberapa yang menarik adalah dua wakil Asia, Korea Selatan dan Jepang tampil mencengangkan. Korea Selatan masih akan dipaksa entah dapat menciptakan prestasi terbaik seperti piala dunia 2002 ketika menempati urutan keempat setelah perebutan juara tiga dengan Turki saat piala dunia dilaksanakan di kandang Korea-Jepang.

Ketika Korea-Jepang menjadi tuan rumah, Jerman runner-up, Brasil juara dunia ke-5, namun tidak bahkan tidak masuk ke semi-final pun, ketika piala dunia diselenggarakan di Jerman. Rekor terburuk nasib juara bertahan dan runner-up terjadi di Piala Afrika ketika penggemar fanatik menerima kenyataan, bahwa kepulangan dini juara bertahan sebuah Itali dan rival runner-up -nya Perancis , adalah mimpi buruk yang nyata. Patrice Evra pemain Perancis yang bermain di Liga Inggris Mancester United harus terisak karena sesumbar bahwa Perancis bisa menjuarai pesta akbar itu.

Di tengah isak-tangsi Evra, Honda Keisuke adalah salah satu pemain Jepang yang patut bersorak, karena bersama kesebelasan “Samurai Biru” mendepak Denmark dengan skor telak 3-1 dan menjadi runner-up di Grup E dan akan bertemu juara Grup F, Paraguay, untuk merebut tiket 8 besar atau perempat final. Jepang masuk babak 16 besar menemani Korea-Selatan sebagai wakil Asia. Setidaknya, kedua tim itu berusaha menyatakan kepada dunia, bahwa mereka bukan sekedar jago kandang. Kekuatan sebuah Ideologi:

"Kapten Tsubasa", Honda dan hanya sedikit orang yang masih percaya di dunia nyata, bahwa sebuah ideologi in sensu lato, dalam artiannya yang luas, memberikan kekuatan fisik lebih dari obat kuat apa pun. Suka tidak suka, sebenarnya tidak sedikit pesepak-bola dan kita para penggemar, telah menjadikan ideologi sebagai suatu keyakinan universal untuk pesta meriah satu bola bundar itu.

Kita dapat melihat pemain asal Mali, Seydou Keita “Seydoubilen” putera Salif Keita, pemain lapangan tengah FC Barcelona, yang tanpa ragu sholat-sujud nan singkat sebelum dan setelah suatu pertandingan. Keyakinan iman Muslim yang diimaninya adalah suatu kekuatan spiritual-ideologi, yang tidak hanya menempel sebagai asesori, tetapi memberinya nilai universal kebersamaan dalam timnya. Semua kekuatan mental-spiritual diyakini tidak sedikit pemain memberi ketenangan saat digoncang murka, ketabahan dalam untung dan kalah, ataupun kematangan sikap bersosial yang disederhanakan dalam kata sportifitas atau fair-play. Di sebuah desa terpencil di Minahasa, Manado, Sulawesi Utara terpampang tulisan di lapangan sepak bola mini “Fair-play adalah bagian dari Iman”.

Kekuatan Ideologi, Honda dan Kapten Tsubasa

Fenomena ideologi-spiritual tidak akan langsung nampak dalam Kapten Tsubasa Ozora, film kartun manga Jepang yang begitu familiar di kalangan anak-anak Indonesia. Jepang tidak mengekspresikan keyakinannya di dunia publik. Atau tepatnya, keyakinan yang mentradisi bahkan ketika Jepang memimpin kemajuan teknologi dunia sejagad, spiritualitas-ideologi Jepang di masa Restorasi Meiji mendorong tata pergaulan dunia yang mencengangkan. Kapten Tsubasa, bukan ideologi negara Jepang, seperti Indonesia memiliki Pancasila. Tetapi, Kapten Tsubasa adalah bentuk ekspresi ideologi yang secara tidak langsung melahirkan pemain Nakata atau Honda Keisuke dalam faktualitas sebuah Tim Kesebelasan Samurai Biru.

Bermimpi Kapan Tim Kesebelasan Garuda masuk Piala Dunia, atau menjadi penyelenggara Piala Dunia, kita belajara dari Jepang menyederhanakan sebuah mimpi dalam sasta-ideologi sederhana, Kapten Ozora Tsubasa. Anak-anak akan termotivasi menjadi Kapten Tim Garuda. Mereka bermimpi menjadi Kapten Soedirman, Kapten Sutan Sjahrir, Kapten Mohammad Hatta, dalam dunia yang nyata. Bukan sekedar metode dan strategi.

Visi dan misi dalam manajemen bukan sebuah ideologi, kecuali catatan di atas kertas. Ideologi adalah spirit, mempunyai kekuatan nyata yang mengubah. Begitu sebuah Kesebelasan, apalagi sebuah negara. Perlu fair-play. Atau kalau tidak mau ikur fair-play, jujurlah seperi Somalia yang melarang warganya menonton Piala Dunia 2010.

Yang tidak ada hubungannya dengan, adil dan tidak adil, barusan terjadi di Jawa Barat. Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI, tertegun kalau harus diwasiti oleh “penonton” di Banyuwangi, Jawa Barat, bukan “wasit” Negara.Kapan kita mulai fair-play di lapangan, kalau di “lapangan” Banyuwangi, seorang Warga Negara yang mewakili rakyat terhomat. Apa kata dunia? Jangan-jangan Indonesia kelak adalah paling modern dalam teknologi (informasi, kasus Kisruh Rekaman saja), tapi terbelakang ideologi. Mengapa begitu? Tanya Sutan Sjahrir.

Aktivitas perlehatan bola dunia adalah sebuah kerangka nyata ideologi bersama. Meskipun bangsa kita, kata kolumnis Kompas Budiarto Shambazy, baru sebatas Negara “Nobar”, atau Negara Nonton Bareng. Itu saja sudah bagus (bukan seperti Somalia) dan hanya “nobar” kalau terkait bola satu yang diuber di stadion-stadion Afrika Selatan. Bukan Negara “Nobar” Rekaman Mirip Artis itu. Apalagi, Negara nonton bareng kisah “Rieke Diah Pitaloka” berulang di Banyuwangi, atau di tempat lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun