Perang pernyataan unsur Pimpinan DPR RI dan Pimpinan KPK silih berganti telah berlangsung setelah Banggar DPR RI dipanggil KPK. Adu wewenang dengan saling-panggil antara dua lembaga ini pun tak terelakkan dan membingungkan masyarakat. Ketua Busyo Muqodas pun persilahkan Elit Senayan mewacanakan pembubaran KPK. Pertanyaannya, “Kalau KPK yang disinis “Super-body” itu (diwacanakan) untuk dibubarkan, bukankah “Super-duper-body”-kah yang akan membubarkannya? Atau, sekedar hegemoni elitis Senayan?” Ini bukan membuat rakyat sekedar bingung dan geram. Pengalihan isu semata kah? Ataukah ada hal serius dalam tubuh Banggar DPR RI ditemukan KPK, asal muasal “balas pantun” itu? Rakyat ingin jawaban atas pertanyaan itu yang harus dibuat jelas DPR-KPK. Kedaulatan Rakyat tak Berubah Membuat sederhana masalah, dari sudut pandang mata rakyat biasa, mari kita menetapkan dua hal terpenting dari dua lembaga ini. Pertama, Konstitusi UUD 1945 hasil Amandemen menegaskan kembali kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh DPR menurut Undang-Undang. Bukan seperti Konstitusi sebelum Amandemen paska-Reformasi yang berbunyi, “Kedaulatan di tangan rakyat, dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Jadi, DPR yang melaksanakan kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang. In sensu lato DPR maupun KPK bertindak atas nama rakyat sesuai Undang-Undang. Jadi, semua lembaga yang telah dibentuk atas nama “amanah rakyat”, meski in sensu stricto tidak termaktub eksplisit dalam Konstitusi, sebagai contoh KPK, misalnya, bila mengemban nurani dan kehendak rakyat, lembaga itu memiliki kesetaraan konstitusional. Lembaga Tinggi Negara MK atau Mahkamah Konstitusi yang belum lama kita kenal menjadi wasit konstitusional. Kedua, Komisi Pemberantas Korupsi atau KPK diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk memeriksa siapa pun yang melakukan tindak pindana korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara, yang berarti kerugian rakyat. Sebagai salah satu lembaga hasil Gerakan Reformasi, KPK (mutlak) mengkritisi setiap tindakan yang menyebabkan kerugian negara. Menjadi tidak mudah, baik bagi KPK, terutama mereka yang lama menjalankan “pola-pola korup” yang entah, bukan hanya per definisi, tapi pada kenyataannya, menjadi biang korupsi yang telah lama diterima dan dipraktekkan sebagai “wajar”. Kemungkinan itulah yang ditengarai masyarakat terjadi antara KPK dan Banggar DPR RI. Akal sehat menuntut bahwa Elit Senayan, yang memiliki kecerdasan modern dan sikap kritis, tidak beternak “aji mumpung” kebiasaan buruk yang enak, meski sebenarnya harus dikoreksi dan ditindak. Senayan memang belum lama menerima “kekuasaan lebih”, tapi dapat mengidap hegemoni dan justeru sendiri mengidap “Super-body Syndrome”. Amanah Rakyat Bukan Monopoli DPR Sulit untuk tidak mengatakan bahwa, semua tindakan Elitis Senayan yang mendukung “kebiasaan penyelewengan anggaran” sedang dan terus berlangsung. Apresiasi kecil kepada Partai Gerindera yang mengambil sikap tegas terhadap anggota Fraksi Gerindra Pius Lustrilanang di BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) DPR beberapa waktu lalu. Rakyat tidak juga mentolerir tindakan “kebiasaan buruk” yang menjadi biang tindak penyelewengan anggaran. Para Elit Senayan yang cerdas dan kritis, dengan segala Badan kelengkapannya, mestinya telah lama melakukan otokritik dan tindakan mendisiplinkan diri, dalam mengelola dirinya sebagai lembaga tumpuan rakyat. Tidak bisa diterima bahwa, ada kebiasaan buruk yang diterima, taken for granted, namun mengakibatkan kerugian negara. Amat bejat untuk membela dan melakukan serangan balik, misalnya ke KPK, hanya karena “kenyamanan buruk” itu terganggu. Sinis bahwa lembaga KPK itu superbody, teroris, pahlawan kesiangan dan seribu satu macam sebutan lain, hanyalan bentuk mekanisme defensif yang tidak bermanfaat. Malah tidak mendapat tempat terhormat, oleh para Elitis Senayan yang disapa “terhormat”. Common sense paling sederhana dari penegakkan hukum dan keadilan di lembaga KPK, jika konsisten dan konsekuen, DPR dan KPK yang amanah, akan berjalan bergandengan, seiring sejalan. DPR dan KPK pertama kali dan di depan menjadi pasukan penegak ketertiban penegakan korupsi. Sederhana saja. Pertarungan KPK dan Elit Senayan, akan berujung empat pilihan. Pertama, situasi kisruh yang akan terus memanas beberapa saat ke depan. Kedua, ada ‘kompromi’ Elit Senayan dan KPK, meski ini suatu kemungkinan yang membahayakan kedua lembaga, terutama kepentingan maha luas dari rakyat. Ketiga, meskipun (semestinya) mustahil secara konstitusional, Elit Senayan memaksa pembubaran lembaga KPK, hasil reformasi. Keempat, Elit Senayan (seharusnya) merelakan KPK bertindak atas nama Rakyat menegakkan keadilan dan hukum. Juga bila sohib para Elit Senayan yang diduga bekerja out of order, harus “diluruskan” KPK. Rakyat tidak kenyang atau makan nasi aking sambil mendengar Elit Senayan saling melindungi, dalam kejahatan kerak putih yang terbuka. DPR maupun KPK boleh bubar, kalau rakyat, ulangi bila menghendaki. Sayang, kalau Elit Senayan menampakkan pertarungan tidak fair. Bahkan kalau mengerahkan massa lebih besar dan teratur untuk mencederai akal sehat. Jika KPK konsisten dan on the track, gerakan mosi tidak percaya kepada Elit Senayan bukan sesuatu yang mustahil. Menghambat pembangunan Gedung Mewah Senayan beberapa waktu lalu, hanya sebuah indikator. Karena, kedaulatan masih pertama dan terutama di tangan rakyat. Rakyat, ya rakyatlah yang sejati-konstitusionalnya superbody. Seperti wasit, dia menentukan pemenangnya, “pertarungan” antara KPK dan Elit Senayan. Sumber gambar, Unduh Google
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H