[caption id="attachment_180282" align="alignleft" width="300" caption="Foke-Nara (sumber: silang-saling.com)"][/caption]
Sebenarnya, di mata awam sekalipun halangan calon incumbent Gubernur DKI 2012 Fauzi Bowo (minus Prijanto, yang diganti Nachrowi), mudah ditebak. Foke hanya diuntungkan oleh beberapa keadaannya sebagai Gubernur DKI. Lebih dari itu, pelbagai faktor sebelum masuk arena laga pilgub DKI, Foke-Nara dimulai bukan dari garis ‘nol’ tapi dari titik minus.
Catatan ini tidak usah membuat lemah Tim Kampanye Foke-Nara, tetapi sebaiknya masuk dalam konteks analisis SWOT (strengths, kekuatan), (weaknesses, kelemahan), (opportunities, kesempatan), dan (threats, ancaman). Dalam catatan ini, terlihat betapa beratnya beban Foke-Nara untuk menjadi pemenang Pemilukada DKI Jakarta, bahkan untuk runner-up saja sekalipun. Pertarungan sengit, hingga quick-count memberi kepastian pertama.
Faktor pertama, terutama Foke mengetahui, bahwa mempertahankan prosentasi kemenangan pemilukada DKI 2007, bukan lagi hal yang mudah, sebaliknya nyaris mustahil, di mana Foke-Prijanto mengantongi 57,87%. Pasangan Adang Dorodjatun-Dani Anwar, meski hanya didukung satu partai, yakni PKS, mencapai angka 42,13%. Foke juga telah mendapat keuntungan sebagai Wakil-Gubernur DKI ketika itu. Angka 57,87% sebenarnya hasil yang jauh di bawah ekspektasi kemenangan yang ketika itu estimasinya di atas 60% dan hanya menyisakan 30-an% untuk pasangan Adang-Dani. Foke tentu ingat betapa pahit angka itu dibanding ‘pendukung’ yang begitu gemuk, mencapai 20 partai, termasuk PDI-P, Partai Demokrat, Golkar dan tentu PPP yang pertama memulainya, serta 16 partai lainnya. Hasil pilkada 2007 dapat disebut “grafik menurun pertama”.
Faktor Kedua, pecahnya kongsi Partai Pendukung sang incumbent, terutama yang menjadi penentu utama kemenangan Foke pada Pilkada jilid I, yakni PDI-P, Golkar dan Partai Demokrat ke tiga pasangan berbeda, dengan sendirinya menghantar pergi pendukungnya. “Grafik menurun kedua” pilkada DKI untuk Foke menjadi bertambah berat. Betapa pun, pemilih tidak senantiasa identik dengan partainya. Pecahnya tiga pilar utama itu, mengubah tahta Foke menjadi sebuah Takhta menjadi kursi biasa.
Faktor Ketiga, Foke terpaksa, atau dipaksa melepas sebagian pendukung PDI-P, yang menjadi oposisional terhadap partai Demokrat. Sayangnya, pada saat yang sama, Partai Demokrat sedang dalam grafik menurun tajam popularitas dan citra di mata masyarakat. Imbasnya menjadi konsekuensi turunnya dukungan pada Foke-Nara. Grafik menukik demokrat mungkin tidak setajam popularitas partai Demokrat, tetapi mejadi “grafik menurun ketiga” dukungan kepada Foke-Nara.
Faktor Keempat, bahkan betapa pun bukan menjadi faktor penentu, mundurnya Wakil Gubernur Prijanto pada tahun terakhir pemerintahannya, berimbas pada kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan Foke. Meskipun sebagian kalangan mengkritik langkah Prijanto, namun menjadi sebuah awal legalitas Foke. Itu titik grafik menurun Foke.
Tanpa ikhtiar lebih ekstra dari Tim Foke-Nara, pada hemat saya, runner-up adalah capaian tertinggi. Tidak lebih, kurang masih mungkin. Semua pasangan Pilgub, tetapi terutama Jokowi-Ahok dan Alex-Nono, tidak hanya mengubah kekuatan peta Foke, tapi menjauhkan Foke-Nara dari kemenangan pilgub DKI 2012, dari grafik yang terus menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H